"Tentang benda-benda yang engkau punya dan engkau banggakan. Tentang gaya hidup yang kau kenakan dan bahkan kini kau tuhankan. Tentang kekinian yang selalu saja engkau bicarakan. Tentang status dan posisi tawarmu di penglihatan orang-orang. Tentang nama besar yang engkau sandang dan engkau busungkan. Tentang seberapa pintar dan cemerlangmu di penglihatan orang-orang. Tentang satu, dua, tiga peperangan yang pernah kau menangkan. Kalimat menjatuhkan yang jadi sering engkau ucapkan, kau hujamkan. Jangan harap itu bisa mengesankanku dan menjatuhkanku..." (Jenny-120)

Monday, April 22, 2013

Sejarah Thailand hanya seharga Rp 6500.


Ini adalah gambar saya yang saya ikut lombakan di sayembara desain kaos dalam rangka Outing 2013 di kantor saya. Tapi sayang kalah, hehehe. "Nggak apa-apa Bro, buat portofolio", kata temen saya memberikan harapan semu. FYI Beberapa waktu yang lalu, saya bersama teman-teman satu kantor pergi outing ke Bangkok, Thailand. Ritual tahunan ini menjadi cukup menarik karena kita akan mengunjungi negara yang katanya menjadi trend setter dunia periklanan se-Asia Tenggara. Banyak kegiatan yang kita lakukan di sana, mulai dari berwisata ke Wat Arun, menyusuri sungai Chao Phraya, mengunjungi Sleeping Buddha, jalan-jalan ke Bangkok Art Centre, belanja oleh-oleh kaos di pasar yang saya lupa namanya, dsb. Sepulang dari sana yang tentunya dengan sejuta cerita, kami disuruh oleh pihak kantor untuk membuat artikel perihal kegiatan outing kita di Bangkok. Artikel itu bisa berbicara tentang apa saja dan nantinya akan ditampilkan di website kantor. Setelah beberapa saat berpikir akhirnya saya memutuskan membuat artikel tentang sejarah Bangkok yang diintip dari sebuah lapak di trotoar jalan, yang sempat terekam mata dan kamera saya ketika jalan-jalan.

Pertama kali mendengar sejarah Thailand, saya langsung teringat dengan film Yamada: The Samurai of Ayothaya, sebuah film epik bersetting kerajaan Thailand pada jaman dulu. Dalam film tersebut banyak ditampilkan adegan beladiri kuno Thailand dengan gaya berdandan pendekarnya yang sedikit progressif, badan bertato dengan rambut gaya mohawk dan kumis panjang, cukup modis untuk ukuran fesyen jaman itu. 

Tapi di sini saya tidak akan ngomong tentang film, melainkan tentang sebuah lapak jualan di trotoar jalanan kota Bangkok yang menggelar dagangan berupa foto-foto seputar Thailand pada jaman dulu. Uniknya, foto-foto tersebut dijual dengan harga yang cukup murah, hanya THB 20 atau setara kurang lebih 6500 rupiah untuk foto seukuran A4. Foto-foto bernuansa sephia tersebut hanya terbungkus plastik dan disebar rapi pada sebuah alas di trotoar jalan, hampir mirip jualan hp bekas di sekitar Stasiun Senen. Mungkin kita juga sering lihat di Indonesia foto-foto tentang negeri kita jaman dulu, tapi ada yang berbeda dengan foto-foto yang dijual di trotoar jalanan kota Bangkok ini.



Yang membedakan adalah foto-foto jadul Thailand ini hampir tidak ada yang menampilkan adegan-adegan seputar kerja paksa, perang gerilya, suasana bangunan bergaya Eropa, dikotomi nederlander-inlander (majikan bule dengan gundik pribumi), atau adegan-adegan lain yang biasa kita temui di foto-foto Indonesia jaman dulu. Yang ditampilkan hanya seputar suasana kota/kerajaan tempo dulu, alat transportasi pada masa itu, potret biksu, potret keluarga kerajaan, perayaan-perayaan hari besar, dan semacamnya. Hal inilah yang mungkin membuat harga foto-foto kuno ini tidak terlalu mahal. Tidak adanya kisah miris seputar kerja rodi dan tanam paksa, kisah heroik perjuangan merebut kemerdekaan, dan momen-momen imajinatif lain seperti yang terjadi di Indonesia, membuat foto-foto tersebut hanya memiliki sedikit makna sejarah dan tidak mampu bicara sebanyak foto-foto Indonesia jaman dulu. Mungkin inilah kekurangan negeri yang tak pernah terjajah bangsa Eropa, dan kita walaupun dulu pernah terjajah 3,5 abad patut berbangga, karena kita punya sejuta kisah patriotis yang tidak pernah habis untuk diceritakan kepada anak cucu kita. Damn, I love Indonesia! 

*Sebagian artikel ini juga dimuat di http://www.pantarei-ad.com/

Saturday, April 20, 2013

Local Heroes Komik Indonesia


Sebenarnya ini gambar lama, tugas kuliah, tapi entah mengapa saya ingin mempostingnya. Mungkin ada hubungannya dengan kearifan lokal yang sedang digalakkan, atau mungkin saya sayang saja kalo sampai gambar ini hilang dalam harddisk komputer. Gambar ini adalah salah satu bukti bahwa Indonesia punya komik, walaupun sebagian mirip-mirip dengan komik Barat, maklum karena terlalu terinfluence mungkin. Tapi bagimanapun juga inilah karya pribumi yang patut kita lestarikan dan kita teruskan nafas hidupnya.

Saya jadi teringat dengan apa yang dikatakan Creative Director saya di kantor, perihal Jepang, dalam hal ini yang saya bahas adalah komik Manga-nya. FYI Creative Director saya (selanjutnya ditulis CD), baru saja pulang dari Jepang, dan di sana beliau sempat berkunjung ke salah satu pameran desain. Setelah kembali ke Indonesia diadakanlah creative sharing di kantor perihal pameran tersebut, hingga pada akhirnya obrolan kita sampai pada komik Jepang, Manga.

Menurut CD saya, komik Jepang yang sekarang sebegitu hebatnya pada awalnya juga terinspirasi dari komik Barat sama seperti Indonesia. Bedanya adalah Jepang kemudian memproduksi komik yang mempunyai karakter sendiri dan berbeda dengan komik Barat, walaupun mungkin tidak lebih bagus, sedangkan Indonesia plek-njiplek mengadopsinya, hanya menerjemahkan nama dan sedikit memodifikasi kostum hingga jadilah Laba-laba Merah, Gundala, Godham, dkk. Proses ini berkaitan dengan bagaimana cara melihat dan mereproduksi dari masing-masing influencer.
Seperti yang kita ketahui dalam teori intertekstualitas, sebuah teks (verbal/visual) yang muncul tidak akan pernah lepas dari teks terdahulunya, begitupun juga komik. Komik Jepang tidak akan muncul tanpa adanya komik Barat, dan komik Barat mungkin tidak akan muncul tanpa adanya relief Candi Borobudur atau gambar purba di Goa Maros. Yang membedakan adalah bagaimana cara kita melihat dan bagaimana cara kita mereproduksi teks terdahulu menjadi teks hasil buah karya kita saat ini. Dalam fase yang pertama yaitu 'fase melihat', Jepang terbiasa melihat suatu hal dengan membreak down dan menganalisa satu persatu bagian dari apa yang mereka lihat. Misalnya mereka melihat sebuah komik, maka mereka akan memisahkan satu persatu bagian dari komik tersebut, mulai dari font, gaya gambar, elemen grafis, warna, bahan, dsb, untuk memahami mengapa komik tersebut memakai warna itu, memakai font itu, memakai bahan itu, gaya gambar itu, dst.

Setelah mereka mencari tahu alasan hingga issue-issue yang ada di belakangnya barulah mereka menuju fase kedua, 'fase reproduksi'. Pada fase ini mereka mulai mengimplementasikan ke dalam karya buatan mereka bagian-bagian komik tadi yang telah dibreak down dan menganalisa masih relevankah warna itu, tulisan itu, gaya gambar itu, bahan itu, dsb. Jika ternyata tidak relevan, maka kemudian dimodifikasi atau diganti dengan apa yang mereka anggap relevan, hingga pada akhirnya jadilah komik yang berkarakter lokal, dan hampir tidak terlihat terinfluence komik Barat. Mungkin itu salah satu mengapa komik Manga bermata lebar, karena karakter orang Jepang yang bermata sipit, dan mata lebar adalah mata yang diidam-idamkan, sebuah teknik marketing yan baik bukan. Namun sampai saat ini saya tidak pernah habis pikir bagaimana seorang Jepang, Fujiko F. Fujio, mendapat ide untuk memproduksi karakter Doraemon, sebuah robot masa depan berbentuk kucing yang mampu mengeluarkan apa saja dari kantongnya. Sebuah karakter imajinatif yang sangat aneh dan lebih anehnya lagi bisa tetap bertahan sampai saat ini. Memang sepertinya kita harus banyak belajar dari negara yang pernah mengaku-ngaku sebagai saudara tua bangsa kita ini. Tabik.