"Tentang benda-benda yang engkau punya dan engkau banggakan. Tentang gaya hidup yang kau kenakan dan bahkan kini kau tuhankan. Tentang kekinian yang selalu saja engkau bicarakan. Tentang status dan posisi tawarmu di penglihatan orang-orang. Tentang nama besar yang engkau sandang dan engkau busungkan. Tentang seberapa pintar dan cemerlangmu di penglihatan orang-orang. Tentang satu, dua, tiga peperangan yang pernah kau menangkan. Kalimat menjatuhkan yang jadi sering engkau ucapkan, kau hujamkan. Jangan harap itu bisa mengesankanku dan menjatuhkanku..." (Jenny-120)

Saturday, August 29, 2009

Ajaib: Kampus Kita Berubah menjadi Pabrik

Tampaknya sekarang mulai susah membedakan sebuah institusi pendidikan (dalam hal ini kampus) dengan perseroan terbatas atau pabrik. Bedanya mungkin jika pabrik berisi buruh dan pekerja, kampus berisi mahasiswa. Jika pabrik memberi upah kepada buruh dan pekerja, kampus justru menarik dana dari para mahasiswanya. Disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) memang memaksa institusi pendidikan mencari dana operasionalnya secara mandiri demi menghidupi penghidupannya sendiri (menurut yang buat merupakan bentuk otonomi kampus). Institusi pendidikan diperbolehkan membentuk badan usaha yang bertujuan mencari laba guna menutupi biaya operasionalnya tersebut. Inilah yang menyebabkan tidak adanya perbedaan kampus dengan pabrik. Otonomi yag diberikan pemerintah kepada kampus dalam hal pendanaan ini terkesan latah dan kebablasan.

Berbagai alibi dipakai pemerintah dan parlemen untuk membela diri dan ngeles dari protes-protes yang merebak di masyarakat. Mulai dengan menyatakan bahwa UU BHP sebagai bentuk otonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, UU BHP menjamin biaya pendididkan yang dikeluarkan mahasiswa tidak akan lebih dari 1/3 biaya operasional, UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik melalui pemberian beasiswa 20 persen, dan lain sebagainya. Tapi lepas dari semua dalih-dalih tersebut tetap saja intinya sama, pemerintah melepas tanggung jawabnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Otonomi kebablasan yang diberikan membuka jalan institusi pendidikan menuju ke ranah kapitalisme dan liberalisme.

Apapun alasan pemerintah dan parlemen mengesahkan UU BHP ujung-ujungnya sama saja, biaya pendidikan semakin mahal. Dalam pasal mengenai pendanaan misalnya, disitu dijelaskan bahwa biaya pendidikan BHP (berbentuk BHPP, BHPPD dan sebagainya) ditanggung pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dengan jelas disebutkan bahwa masyarakat diikutkan dalam pendanaan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Kemana alokasi dana 20 persen APBN yang katanya untuk pendidikan? Kemana kewajiban pemerintah yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa? Kemudian dijelaskan pula pada pasal 34 yang menyatakan bahwa pemerintah hanya menanggung 2/3 biaya operasional pendidikan BHP, 1/3-nya ditanggung masyarakat (mahasiswa). Iya kalau misalnya biaya operasional pendidikannya cuma 100 ribu, 1/3-nya cuma sekitar 30an ribu, kalau misalnya biaya operasionalnya mencapai 1 milyar? Berapa 1/3-nya yang harus ditanggung mahasiswa? Yang aneh lagi adalah apa yang tercantum pada pasal 35 yang menyebutkan bahwa BHP dapat mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan. Kampus benar-benar telah dikomersilkan dan hendak dirubah menjadi pabrik. Orientasi institusi pendidikan kini tidak lagi untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas dan membawa masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas, bermartabat, dan berdaya saing tinggi, melainkan untuk mencari laba atau keuntungan sebesar-besarnya.

Dampak buruk dari adanya UU BHP ini jelas yang merasakan adalah masyarakat dan mahasiswa. Birokrasi kampus yang terhormat mana mungkin dirugikan. Proses komersialisasi pendidikan memang benar-benar membawa dampak semakin mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa. Hal ini terlihat dari diwajibkannya mahasiswa membayar sumbangan-sumbangan yang beraneka ragam jenis dan namanya. Lucunya sumbangan-sumbangan disini (misalnya SPMA) diberi batas minimal, yang berkisar di atas satu juta rupiah. Aneh, padahal biasanya kalau sumbangan itu, pembangunan masjid misalnya, sifatnya sukarela, semampunya, dan seikhlasnya. Selain adanya berbagai sumbangan yang harus dibayar mahasiswa, dampak komersialisasi pendidikan juga terasa dengan mulai diterapkannya sistem pembayaran Satuan Kredit Semester (SKS). Mahasiswa wajib membayar biaya SKS untuk setiap mata kuliah yang ditempuhnya sesuai dengan bobot SKS dari mata kuliah yang diambil. Semakin besar bobot SKS, semakin mahal biaya yang dibayarkan. Padahal pada implementasinya besarnya bobot SKS tidak benar-benar berpengaruh pada proses belajar dan mengajar. Meskipun bobotnya 6 SKS tetap saja proses transfer of knowledge-nya cuma setengah jam, sama dengan yang 2 SKS.

Selain semakin mahalnya biaya pendidikan dampak lain dari komersialisasi pendidikan melalui penerapan UU BHP adalah semakin getolnya kampus mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya. Trik yang diambil adalah dengan dibukannya kelas-kelas tambahan untuk program studi yang sedang laku dan menjadi primadona (misalnya program studi Desain Komunikasi Visual). Dengan adanya kelas tambahan (non-reguler), yang tentu saja biayanya lebih mahal (hampir dua kali lipat) dari program regular, pihak birokrat kampus berharap mampu menampung mahasiswa yang lebih banyak dan tentu saja menyebabkan uang yang mengalir ke kampus semakin berlimpah. Mahasiswa non-reguler dijadikan “pohon uang” oleh pihak birokrat kampus. Tapi apa dampak dari semakin banyaknya mahasiswa (hingga 3 kelas) terhadap proses belajar dan mengajar? Proses belajar dan mengajar menjadi tidak efektif dan kualitasnya menurun. Dosen menjadi terkesan malas mengajar, solidaritas antar mahasiswa menjadi berkurang (karena adanya kecenderungan perbedaan strata dari mahasiswa regular dan non-reguler).

Yang paling anyar adalah adanya program kewirausahawan yang sedikit-demi sedikit akan membawa sebuah institusi kampus yang tadinya berupa kampus pendidikan menjadi sebuah kampus enterpreneurship. Disini jelas terlihat, kampus tidak lagi berorientasi pada tujuan pendidikan yang sejatinya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan bibit manusia Indonesia yang unggul, melainkan untuk mencari uang. Kampus memberikan modal kepada mahasiswa untuk mendirikan sebuah usaha yang nantinya diharapkan akan mendapatkan keuntungan. Tugas seorang mahasiswa tidak lagi untuk menuntut ilmu demi menjadi generasi penerus bangsa yang mumpuni dan berdaya saing tinggi, melainkan untuk menjadi seorang pekerja, buruh, atau kuli. Kampus sudah benar-benar menjadi sebuah pabrik.

Kalau kenyataannya seperti itu, sudah benarkah diterapkannya UU BHP pada institusi pendidikan di Indonesia? UU BHP yang katanya akan semakin meningkatkan kualitas pendidikan dan menjadikan biaya pendidikan semakin murah hanya omong kosong belaka. Tetap saja hanya orang-orang kaya dan berduit yang mampu mengecap pendidikan hingga jenjang yang tinggi. Semakin banyak rakyat miskin yang tidak akan bisa bersekolah jika pendidikan di Indonesia dikomersilkan. Dengan adanya kapitalisasi dan liberalisasi di bidang pendidikan, institusi pendidikan tidak lagi berorientasi untuk meyelenggarakan pendidikan yang murah dan berkualitas bagi rakyat, melainkan untuk mencari uang dan laba sebanyak-banyaknya. Mana peran pemerintah seperti yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Kemana 20 persen APBN yang katanya sudah diberikan sepenuhnya untuk pendidikan? Seharusnya liberalisasi dan kapitalisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia jangan sampai terjadi. Negara dan pemerintah harus tetap memegang kendali dan menjamin masyarakat Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak dan murah. Seluruh rakyat Indonesia, entah itu orang kaya atau orang miskin, harus mendapat jaminan dari pemerintah untuk bisa mengecap pendidikan setinggi-tingginya. Wahai para pemimpin bangsa, jangan sampai kalian membuat geram Ki Hadjar Dewantara dan R.A Kartini di atas sana!!

Friday, August 14, 2009

Buku itu berjudul: “Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas”



Hari Sabtu, tanggal 1 Agustus 2009 pukul 4 sore, saya berangkat menuju Jogja National Museum Yogyakarta dalam rangka menghadiri acara bedah buku Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas. Keputusan untuk datang bermula dari diinvitenya saya oleh seorang teman sekampus tentang acara tersebut melalui situs jejaring maya paling terkemuka yang sudah terlanjur saya klik: attending. “Sekalian bertemu teman-teman kampus”, pikir saya. Tetapi ketika sampai di lokasi ternyata bukan teman-teman kampus yang saya temui, melainkan anak-anak Punk dari beberapa daerah (kalau tidak salah dari Surabaya, Trenggalek, dan Yogyakarta) yang dengan santainya tiduran di bawah pohon, di samping pagar, lengkap dengan dandanan dan atribut kebanggaan mereka. Benar-benar anti kemapanan sepertinya. Saya pikir mungkin mereka datang karena setelah acara bedah buku ini selesai, akan ada panggung hiburan berupa pagelaran musik punk di tempat yang sama. Tetapi pada akhirnya saya cukup terkejut mengetahui bahwa ketika acara bedah buku Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas dimulai, ternyata beberapa dari mereka antusias mengikuti acara tersebut. Mereka tidak canggung duduk bersama dengan pembicara, orang-orang dari penerbit, dan kritikus budaya yang berpakaian rapi, terkesan pintar, dan membawa laptop serta banyak buku bacaan sebagai referensi. Salut.

Buku Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas sendiri ditulis oleh John Martono dan Arsita Pinandita yang juga merangkap ilustrator bukunya. Buku yang berwujud buku bergambar (visual book) ini diterbitkan oleh Halilintar Books, penerbit baru yang mengklaim dirinya sebagai penerbit visual book dengan sorotan isu-isu tentang art, fashion, design, musik dan lifestyle, dalam kacamata cultural studies. Cukup unik. Jika kita terbiasa membaca buku-buku cultural studies yang tebal dan penuh tulisan-tulisan kecil, sekarang kita disuguhi buku cultural studies yang penuh gambar dan mempunyai dua warna di beberapa halamannya, merah serta hitam. Sayang ketika acara bedah buku berlangsung, jenis buku yang tergolong jarang di ranah cultural studies ini kurang mendapat tanggapan serta perhatian dari audience. Mereka lebih intens mendiskusikan tentang Punk, entah itu dari ideologinya, pesan yang mau disampaikan, ataupun dari dandanan Punk itu sendiri. Mereka terkesan sibuk menginterogasi dan menjejali anak-anak Punk yang mengikuti bedah buku tersebut dengan berbagai pertanyaan yang njlimet, berputar-putar penuh narasi, dan terkesan sulit dijawab. Seperti pengadilan menurut saya. Tetapi saya tidak akan menulis tentang debat kusir tersebut, saya lebih tertarik membahas kemuculan buku Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas, sebuah buku dalam ranah cultural studies yang bergenre visual book.

Selalu asik membaca buku bergambar (visual book)
Pertama kali mendengar isu akan munculnya visual book Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas dalam ranah cultural studies memberikan efek sedikit sumringah bagi saya pribadi. Saya berpikir mungkin buku ini akan mirip buku Kartun Riwayat Peradabannya Larry Gonick, atau mungkin seperti buku Filsuf Jagoannya Fred Van Lente dan Ryan Dunlavey. Tapi jelas versi Punk, jadi tidak akan ada gambar-gambar jayus seperti di kedua buku kartun tersebut. Yang jelas bagi saya, membaca visual book terasa lebih mengasikkan daripada membaca buku yang di dalamnya hanya ada tulisan saja. Mungkin karena di dalam visual book ada pertunjukkan yang menarik antar tulisan dan gambar yang saling silih berganti peran. Kadang tulisan menjadi peran utama dan gambar menjadi peran pembantu, dan kadang pula sebaliknya. Tulisan dan gambar juga tidak jarang ber”duet” dan mempunyai peran yang setara. Tetapi mengasikkan bagi saya belum tentu juga mengasikkan bagi orang lain, apalagi yang sudah terlanjur terbiasa mengkonsumsi buku yang isinya hanya berupa teks verbal saja. Mereka mungkin hanya akan membaca tulisannya tanpa mempedulikan gambarnya. Bisa diibaratkan processor otak mereka sudah terbiasa dengan program word, jadi susah mengolah input grafis. Padahal menurut saya, gambar dalam visual book lebih sering memegang peranan penting daripada tulisannya.

Teks yang berbicara dalam sebuah visual book memang tidak hanya berupa tulisan saja melainkan juga gambar. Dengan kata lain, gambar dalam visual book juga harus dibaca untuk mendapatkan pesan serta esensi dari apa yang diutarakan disetiap kontennya. Gambar tidak hanya menjadi komplemen dari tulisan, melainkan mereka berdua (tulisan dan gambar) mempunyai bobot yang sama serta saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain. Kadang-kadang tulisan yang menjadi pendukung gambar, kadang-kadang sebaliknya, gambar yang mendukung tulisan. Dan pengalaman saya ketika membaca sebuah teks yang berisi gambar dan tulisan, saya cenderung akan lebih lama memperhatikan (membaca) gambarnya daripada tulisannya. Saya (mungkin orang lain juga) akan selalu mecoba menerka dan mengira-ngira apa pesan yang ingin disampaikan pembuatnya (penulisnya) dengan gambar tersebut, apa kaitan gambar yang terpampang dengan tulisan dalam teks tersebut, apa motif dibelakangnya sehingga gambar itu yang disandingkan dengan tulisan dalam teks tersebut, dan lain sebaginya. Dan apesnya, jawabannya selalu tidak hanya satu. Mungkin begini, mungkin begitu, mungkin bukan ini, mungkin bukan itu, dan mungkin-mungkin yang lain.

Sepertinya benar kata kiasan yang mengatakan,“gambar mempunyai seribu makna”. Banyak pengertian, arti, interpretasi, dan kesimpulan yang bisa diambil dari sebuah gambar, dan pemaknaan visual tersebut terkadang sering berbeda-beda antara orang yang satu dengan orang lain. Kadang ada orang yang hanya menarik makna dan kesimpulan yang sederhana saja dari sebuah gambar, tetapi terkadang ada juga yang menelaah jauh sekali hingga ke sisi filosofinya. Tidak hanya itu, gambar juga dapat berbicara dan bercerita. Gambar bisa menjadi media untuk menyampaikan pesan, baik berdiri sendiri ataupun berkolaborasi dengan media yang lain, misalnya teks verbal. Bahkan terkadang tulisan yang berlembar-lembar bisa diwakili hanya oleh satu buah gambar saja. Mungkin hal tersebut yang menyebabkan seringnya saya diam menatap selembar halaman dari buku Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas, meskipun tulisan dari halaman tersebut sudah selesai saya baca.

Punk itu (masih) subkultur, bukunya juga harus unusual
Banyak orang yang mengatakan bahwa ideologi Punk sekarang sekarang sudah terkontaminasi oleh pandemi virus globalisasi dan menjadi sebuah komoditas unggulan di ranah pasar kapitalisme. Sekarang mulai banyak bermunculan factory outlet (FO) dan distributor outlet (distro) yang menjual pernak-pernik serta wardrobe bergaya Punk. Simbol-simbol Punk mulai dari pin, emblem, sabuk, dan teman-temannya pun makin laris di pasaran. Lagu-lagu dari grup band Punk, baik impor maupun lokal, juga semakin eksis di toko-toko kaset dan cd. Bahkan penulis buku Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas ini mengungkapkan di halaman penutupnya tentang fenomena grup band melayu yang berdandan ala Punk (mohawk) tetapi memainkan musik pop melayu mendayu-ndayu. Hebatnya lagi, lagu-lagu grup band seperti inilah yang menjadi top rank pada tangga lagu di Indonesia. Tampaknya Punk sekarang sudah menjadi bagian dari fesyen dan gaya hidup populer. Oleh karena itulah, menurut penulisnya, mengapa buku ini diluncurkan, yaitu untuk mengembalikan ideologi Punk kembali ke masa ketika Punk pertama kali lahir, dimana saat itu Punk menjadi alat perlawanan, anti penjajahan, anti kapitalisme, anti rasisme, tidak hanya menjadi sebuah simbol semata seperti di era sekarang ini.

Jika ditilik dari isi materi tulisan, buku Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas mungkin bisa dikatakan terlalu ringan dan remeh temeh serta tidak menyingkap sisi terdalam dari sebuah ideologi yang bernama “Punk”. Saya yang termasuk kecewa dengan pembahasan yang ada pada tulisan di buku ini. Penjelasan mengenai identitas hingga aplikasi pola pikir Punk yang subkultur cenderung masih sangat sedehana dan masih mengambang. Bahkan isi tulisannya mungkin dapat dengan mudah disearch melalui mesin pencari di internet. Tulisan dalam buku ini hanya berbicara mengenai apa itu punk, sejarah punk, jenis-jenis punk, aksesoris punk, dan deskripsi Punk lainnya yang dikemas secara ringkas dan irit kata. Bahkan salah seorang pengritik budaya mengatakan bahwa isi buku ini mirip dengan buku pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa) di sekolah dasar, yang identik dengan menyebut nama tokoh, narasi cerita, serta waktu kejadian.

Tulisan di dalam buku Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas mungkin memang bisa dikatakan kurang memuaskan jika dibaca secara sendiri dan terpisah, tetapi tidak jika kita membaca tulisan dalam buku ini beserta dengan gambar ilustrasi hingga tata letak (layout)nya. Gambar ilustrasi beserta layoutnya inilah yang menurut saya menjadi kekuatan handal dari buku ini. Teknik penggambaran ilustrasi yang menggunakan goresan-goresan tajam dan terkesan tidak rapi justru menjadi semacam implementasi yang kuat dari sisi Punk di dalamnya. Penggunaan simbol-simbol dan ikon-ikon seperti sobekan kertas, potongan kertas yang ditempel, jahitan kain, hingga penggunaan jenis font tulisan tangan menjadi semacam luapan emosi dan improvisasi yang benar-benar anti kemapanan serta melawan arus. Inilah yang membuat buku Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas patut kita apresiasi. Halaman-halaman yang ditata sedemikian rupa satu persatu dengan gambar ilustrasi yang tidak sama di setiap halamannya, jelas sangat berbeda dengan buku cultural studies lainnya yang hanya menggunakan satu template saja untuk menata seluruh halamannya. Buku ini tampaknya juga sangat erat dengan dunia seni dan desain, jika dilihat dari segi layout serta tampilan visualnya.

Ketika membuka visual book Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas, kita akan disuguhi halaman-halaman yang bisa dibilang cukup aneh, jika dilihat sebagai buku cultural studies, tetapi cukup artistik dalam kacamata seni dan desain. Hampir tidak ada tampilan halaman yang sama dan identik antara halaman yang satu dengan halaman yang lain. Kadang kita melihat halaman yang hanya berisi tulisan saja tetapi dengan wujud, jenis font, dan layout yang sudah digayakan. Kadang pula kita melihat halaman dengan kolaborasi antara judul, pembahasan, dan ilustrasi yang saling mendukung serta tertata cukup artistik dan menarik. Sebagai contoh di halaman 12 dan 13 dimana kita melihat dua halaman yang dijadikan satu, dengan tulisan berukuran cukup besar yang telah digayakan dan dilayout rata tengah. Penataan layout yang rata tengah pada dua halaman yang dijadikan satu tersebut membuat kita terpaksa harus menekan lipatan buku agar bisa mengetahui huruf atau kata apa yang tersembunyi di tengah halamannya. Tidak nyaman mungkin bagi pembaca yang biasa membaca buku dengan layout standar dan dengan action yang hanya membolak-balik setiap lembar kertas, tetapi disinilah letak “Punk”nya visual book Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas. Lain lagi dengan halaman 28 dan 29 yang menampilkan gambar manual dan montage foto yang dikolaborasikan secara apik dengan tulisan standar serta tulisan artistik. Hal ini membuat kita, ketika membaca setiap halaman dalam buku bergambar ini, terpaksa harus memakan tempo yang lebih lama dari membaca buku biasanya agar dapat mengamati dengan seksama gambar beserta layoutnya. Dengan demikian kita bisa mendapatkan esensi dan pesan yang disampaikan meskipun buku ini hanya memiliki sedikit tulisan di dalamnya.

Secara keseluruhan mungkin inilah make-up serta fesyen yang seharusnya bagi sebuah buku Punk, dimana tampilan visualnya sangat berbeda dengan buku-buku lainnya, khususnya yang mempunyai ranah sama, cultural studies. Tampaknya buku ini sukses menjadi buku yang unconventional, subkultul, dan mendobrak batasan formal. Bisa dibilang buku Punk! Fesyen-Subkultur-Identitas mampu menjadi buku yang kentara “Punk”nya meski volume tulisannya sangat ringan. Dari sinilah sisi eksistensi dari ideologi Punk yang saat ini sudah mulai mengabur kembali terlihat, dimana ia melawan arus, tidak mau sama dengan yang lain (pasaran), dan menjadi diri sendiri, meskipun pada akhirnya buku ini terpaksa harus tetap menjadi sebuah komoditas kapitalis yang diperjualbelikan di toko-toko buku dengan target meraup laba. Hal ini tidak salah karena memang semua budaya di dunia saat ini sedang bertransformasi, progresif, dan semakin bergerak menuju satu keseragaman budaya, yaitu budaya global. Tetapi tetap saja sangatlah gegabah jika buku ini disamakan dengan buku PSPB anak sekolah dasar. Selamat membaca dan berekspresi.