Tampaknya sekarang mulai susah membedakan sebuah institusi pendidikan (dalam hal ini kampus) dengan perseroan terbatas atau pabrik. Bedanya mungkin jika pabrik berisi buruh dan pekerja, kampus berisi mahasiswa. Jika pabrik memberi upah kepada buruh dan pekerja, kampus justru menarik dana dari para mahasiswanya. Disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) memang memaksa institusi pendidikan mencari dana operasionalnya secara mandiri demi menghidupi penghidupannya sendiri (menurut yang buat merupakan bentuk otonomi kampus). Institusi pendidikan diperbolehkan membentuk badan usaha yang bertujuan mencari laba guna menutupi biaya operasionalnya tersebut. Inilah yang menyebabkan tidak adanya perbedaan kampus dengan pabrik. Otonomi yag diberikan pemerintah kepada kampus dalam hal pendanaan ini terkesan latah dan kebablasan.
Berbagai alibi dipakai pemerintah dan parlemen untuk membela diri dan ngeles dari protes-protes yang merebak di masyarakat. Mulai dengan menyatakan bahwa UU BHP sebagai bentuk otonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, UU BHP menjamin biaya pendididkan yang dikeluarkan mahasiswa tidak akan lebih dari 1/3 biaya operasional, UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik melalui pemberian beasiswa 20 persen, dan lain sebagainya. Tapi lepas dari semua dalih-dalih tersebut tetap saja intinya sama, pemerintah melepas tanggung jawabnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Otonomi kebablasan yang diberikan membuka jalan institusi pendidikan menuju ke ranah kapitalisme dan liberalisme.
Apapun alasan pemerintah dan parlemen mengesahkan UU BHP ujung-ujungnya sama saja, biaya pendidikan semakin mahal. Dalam pasal mengenai pendanaan misalnya, disitu dijelaskan bahwa biaya pendidikan BHP (berbentuk BHPP, BHPPD dan sebagainya) ditanggung pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dengan jelas disebutkan bahwa masyarakat diikutkan dalam pendanaan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Kemana alokasi dana 20 persen APBN yang katanya untuk pendidikan? Kemana kewajiban pemerintah yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa? Kemudian dijelaskan pula pada pasal 34 yang menyatakan bahwa pemerintah hanya menanggung 2/3 biaya operasional pendidikan BHP, 1/3-nya ditanggung masyarakat (mahasiswa). Iya kalau misalnya biaya operasional pendidikannya cuma 100 ribu, 1/3-nya cuma sekitar 30an ribu, kalau misalnya biaya operasionalnya mencapai 1 milyar? Berapa 1/3-nya yang harus ditanggung mahasiswa? Yang aneh lagi adalah apa yang tercantum pada pasal 35 yang menyebutkan bahwa BHP dapat mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan. Kampus benar-benar telah dikomersilkan dan hendak dirubah menjadi pabrik. Orientasi institusi pendidikan kini tidak lagi untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas dan membawa masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas, bermartabat, dan berdaya saing tinggi, melainkan untuk mencari laba atau keuntungan sebesar-besarnya.
Dampak buruk dari adanya UU BHP ini jelas yang merasakan adalah masyarakat dan mahasiswa. Birokrasi kampus yang terhormat mana mungkin dirugikan. Proses komersialisasi pendidikan memang benar-benar membawa dampak semakin mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa. Hal ini terlihat dari diwajibkannya mahasiswa membayar sumbangan-sumbangan yang beraneka ragam jenis dan namanya. Lucunya sumbangan-sumbangan disini (misalnya SPMA) diberi batas minimal, yang berkisar di atas satu juta rupiah. Aneh, padahal biasanya kalau sumbangan itu, pembangunan masjid misalnya, sifatnya sukarela, semampunya, dan seikhlasnya. Selain adanya berbagai sumbangan yang harus dibayar mahasiswa, dampak komersialisasi pendidikan juga terasa dengan mulai diterapkannya sistem pembayaran Satuan Kredit Semester (SKS). Mahasiswa wajib membayar biaya SKS untuk setiap mata kuliah yang ditempuhnya sesuai dengan bobot SKS dari mata kuliah yang diambil. Semakin besar bobot SKS, semakin mahal biaya yang dibayarkan. Padahal pada implementasinya besarnya bobot SKS tidak benar-benar berpengaruh pada proses belajar dan mengajar. Meskipun bobotnya 6 SKS tetap saja proses transfer of knowledge-nya cuma setengah jam, sama dengan yang 2 SKS.
Selain semakin mahalnya biaya pendidikan dampak lain dari komersialisasi pendidikan melalui penerapan UU BHP adalah semakin getolnya kampus mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya. Trik yang diambil adalah dengan dibukannya kelas-kelas tambahan untuk program studi yang sedang laku dan menjadi primadona (misalnya program studi Desain Komunikasi Visual). Dengan adanya kelas tambahan (non-reguler), yang tentu saja biayanya lebih mahal (hampir dua kali lipat) dari program regular, pihak birokrat kampus berharap mampu menampung mahasiswa yang lebih banyak dan tentu saja menyebabkan uang yang mengalir ke kampus semakin berlimpah. Mahasiswa non-reguler dijadikan “pohon uang” oleh pihak birokrat kampus. Tapi apa dampak dari semakin banyaknya mahasiswa (hingga 3 kelas) terhadap proses belajar dan mengajar? Proses belajar dan mengajar menjadi tidak efektif dan kualitasnya menurun. Dosen menjadi terkesan malas mengajar, solidaritas antar mahasiswa menjadi berkurang (karena adanya kecenderungan perbedaan strata dari mahasiswa regular dan non-reguler).
Yang paling anyar adalah adanya program kewirausahawan yang sedikit-demi sedikit akan membawa sebuah institusi kampus yang tadinya berupa kampus pendidikan menjadi sebuah kampus enterpreneurship. Disini jelas terlihat, kampus tidak lagi berorientasi pada tujuan pendidikan yang sejatinya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan bibit manusia Indonesia yang unggul, melainkan untuk mencari uang. Kampus memberikan modal kepada mahasiswa untuk mendirikan sebuah usaha yang nantinya diharapkan akan mendapatkan keuntungan. Tugas seorang mahasiswa tidak lagi untuk menuntut ilmu demi menjadi generasi penerus bangsa yang mumpuni dan berdaya saing tinggi, melainkan untuk menjadi seorang pekerja, buruh, atau kuli. Kampus sudah benar-benar menjadi sebuah pabrik.
Kalau kenyataannya seperti itu, sudah benarkah diterapkannya UU BHP pada institusi pendidikan di Indonesia? UU BHP yang katanya akan semakin meningkatkan kualitas pendidikan dan menjadikan biaya pendidikan semakin murah hanya omong kosong belaka. Tetap saja hanya orang-orang kaya dan berduit yang mampu mengecap pendidikan hingga jenjang yang tinggi. Semakin banyak rakyat miskin yang tidak akan bisa bersekolah jika pendidikan di Indonesia dikomersilkan. Dengan adanya kapitalisasi dan liberalisasi di bidang pendidikan, institusi pendidikan tidak lagi berorientasi untuk meyelenggarakan pendidikan yang murah dan berkualitas bagi rakyat, melainkan untuk mencari uang dan laba sebanyak-banyaknya. Mana peran pemerintah seperti yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Kemana 20 persen APBN yang katanya sudah diberikan sepenuhnya untuk pendidikan? Seharusnya liberalisasi dan kapitalisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia jangan sampai terjadi. Negara dan pemerintah harus tetap memegang kendali dan menjamin masyarakat Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak dan murah. Seluruh rakyat Indonesia, entah itu orang kaya atau orang miskin, harus mendapat jaminan dari pemerintah untuk bisa mengecap pendidikan setinggi-tingginya. Wahai para pemimpin bangsa, jangan sampai kalian membuat geram Ki Hadjar Dewantara dan R.A Kartini di atas sana!!
No comments:
Post a Comment