"Tentang benda-benda yang engkau punya dan engkau banggakan. Tentang gaya hidup yang kau kenakan dan bahkan kini kau tuhankan. Tentang kekinian yang selalu saja engkau bicarakan. Tentang status dan posisi tawarmu di penglihatan orang-orang. Tentang nama besar yang engkau sandang dan engkau busungkan. Tentang seberapa pintar dan cemerlangmu di penglihatan orang-orang. Tentang satu, dua, tiga peperangan yang pernah kau menangkan. Kalimat menjatuhkan yang jadi sering engkau ucapkan, kau hujamkan. Jangan harap itu bisa mengesankanku dan menjatuhkanku..." (Jenny-120)

Thursday, November 28, 2013

RUMAH GEMBEL
"Reka Ulang Rumah Gembel melalui Seni Rupa"
Oleh: Hermanto Soerjanto, Curator/ Chief Creative Officer Pantarei Inc.

Lewat proyek seni “Rumah Gembel” ini kami mencoba untuk mengangkat sebuah realitas yang sangat akrab dalam keseharian kita, namun sangat jauh dari kesadaran kita. Bahkan sebagian orang malu untuk mengakui bahwa pemukiman kumuh atau “rumah gembel” ini merupakan bagian dari identitas kota yang kita huni. Lewat proyek seni ini kami mengajak untuk jujur terhadap identitas lokal kita.


Ide dari proyek seni ini adalah untuk mereka ulang keberadaan “rumah gembel” ini di ruang publik yang berbeda, di Mal, sebuah ruang publik yang sangat akrab dengan ‘masyarakat menengah-atas’ Jakarta. Objektif dari proyek seni ini adalah: melalui seni rupa, kita dapat merubah kesadaran publik akan keberadaan “rumah gembel.”



“Rumah Gembel” yang dalam realitas keseharian kita dianggap memalukan, simbol dari negara berkembang, melalui campur tangan seni rupa kami harapkan akan dapat diterima dan berinteraksi dengan publik yang konon malu untuk mengakui keberadaan “rumah gembel” ini sebagai bagian dari identitas dirinya.

Dalam proyek seni ini, kami membangun sebuah “rumah gembel” berukuran 200 x 300 x 300cm. Bahan yang digunakan untuk membangun “rumah gembel” ini adalah barang-barang temuan, atau barang-barang loakan. Hal ini untuk mempertahankan feel ke-gembelan dari “rumah gembel” ini. Pada umumnya, dinding “rumah gembel” ini dibuat dengan teknik tambal-menambal dari berbagai macam barang temuan, seperti kardus bekas, triplek bekas, seng bekas, terpal plastik, dan sebagainya.
Dalam proyek “Rumah Gembel” ini, setiap keping dari bagian dinding direspons oleh seorang seniman, sehingga sebagai hasil akhirnya terbentuk sebuah “rumah gembel” yang dindingnya terbuat dari banyak karya-karya seni.


GENERASI MIE GORENG
Potret generasi Indonesia, di era Post-Reformasi.

Kebetulan saya ikut berpartisipasi dalam proyek Rumah Gembel ini, dengan menyumbangkan karya lukisan pada media papan kayu jati yang berjudul "Generasi Mie Goreng".

Karya saya ini mengangkat tema tentang generasi muda Indonesia yang saat ini terlihat agak melenceng dan semakin menjauh dari kodrat mereka sebagai generasi penerus bangsa. Generasi tersebut nampak sedikit menyeleweng dari konsep awal Founding Fathers dalam membangun generasi calon pemimpin masa depan Indonesia, yang diharapkan menjunjung tinggi kearifan lokal dan kepribadian Nusantara. Budaya konsumtif, hedonis, western, dan penuh hura-hura seakan telah mengakar dan menjadi sebuah budaya yang egaliter, mampu diterima dan diterapkan oleh berbagai kalangan di Indonesia baik itu kalangan menengah ke atas atau bahkan kalangan paling bawah, atau yang biasa disebut dengan komunitas gembel. 

Sungguh mengherankan ketika melihat pengemis yang makan di restoran cepat saji waralaba luar negeri atau pemulung yang tengah asik bermain hape canggih berharga jutaan rupiah. Tidak salah memang, karena itu hak mereka dan uang hasil kerja mereka. Masalahnya adalah ketika mereka menjadikan pengemis sebagai profesi dan pekerjaan tetap, serta benda-benda tersier impor dijadikan kebutuhan primer yang menyingkirkan kebutuhan pendidikan atau sandang-pangan-papan. Mereka seakan lebih memilih menggunakan uang mereka untuk kredit sepeda motor ber-cc besar daripada menyekolahkan anak mereka di sekolah yang berkualitas. Kebutuhan konsumsi anak-anak pun dicukupi dengan produk-produk cepat saji yang nilai gizinya jauh dari standar. Permainan-permainan lokal yang kreatif, murah, dan menyehatkan jaman dulu (gobak sodor, congklak, gasing) mulai terisisih diganti gadget berlayar pixel yang berpotensi membuat mata minus serta tubus kurus. Ditambah lagi tontonan televisi yang hanya berisi drama dan hiburan, tanpa pesan moral dan inspirasi positif. Tidak aneh kalau kisah hidup mereka pun seperti drama kolosal yang tragis dan ironis. 

Gadget-gadget canggih kini menjadi benda-benda yang lekat dengan mereka, entah itu anak-anak gembel ataupun anak-anak "the have", bukan lagi buku LKS ataupun sempoa untuk berhitung. Mereka lebih memilih membeli mainan daripada menciptakannya. Para orang tua Indonesia sepertinya tidak mengkonsep anak-anak mereka untuk menjadi seorang pemimpin ataupun enterpreneur sejati, tetapi lebih sebagai konsumen. Budaya generasi muda sekarang sama dan seragam, entah itu kalangan bawah, menengah, ataupun atas. Sama-sama beli, beli, dan beli. Pemerintah pun nampak tak bisa berkutik menghadapi agresi budaya dari Barat. Mereka terlihat sangat panik ketika dollar naik atau diterapkannya embargo ekonomi oleh Amrik. Kita benar-benar menjadi bangsa yang tidak bisa mandiri, bergantung pada barat, entah itu dari segi ekonomi, politik, ataupun budaya. Tidak ada pendidikan dini yang panjang dan terarah, yang pada akhirnya bisa mencetak generasi mumpuni untuk membangkitkan kekuatan dalam negeri. Yang ada adalah pendidikan yang kurikulumnya berubah-ubah dan berorientasi pada hasil akhir berupa UAN. Keberhasilan kini tidak didapatkan melalui proses yang panjang, tapi sebisa mungkin secara cepat dan praktis. KKN dan suap akhirnya menjadi budaya yang merajalela dan turun-temurun. Mungkin karena mereka semua terlalu banyak mengkonsumsi mie instan, sehingga pikiran mereka juga semakin instan. Tapi bagaimanapun juga inilah Indonesia, kita harus tetap mecintainya sebagai tanah air dan bumi pertiwi. Tugas kita bersamalah untuk menjadikannya lebih baik, meluruskan yang bengkok dan membersihkan yang kotor. Semoga.


*Karya Rumah Gembel ini dipamerkan dan bisa disaksikan di Pondok Indah Mal mulai 28 November 2013.

No comments:

Post a Comment