Saturday, April 20, 2013
Local Heroes Komik Indonesia
Sebenarnya ini gambar lama, tugas kuliah, tapi entah mengapa saya ingin mempostingnya. Mungkin ada hubungannya dengan kearifan lokal yang sedang digalakkan, atau mungkin saya sayang saja kalo sampai gambar ini hilang dalam harddisk komputer. Gambar ini adalah salah satu bukti bahwa Indonesia punya komik, walaupun sebagian mirip-mirip dengan komik Barat, maklum karena terlalu terinfluence mungkin. Tapi bagimanapun juga inilah karya pribumi yang patut kita lestarikan dan kita teruskan nafas hidupnya.
Saya jadi teringat dengan apa yang dikatakan Creative Director saya di kantor, perihal Jepang, dalam hal ini yang saya bahas adalah komik Manga-nya. FYI Creative Director saya (selanjutnya ditulis CD), baru saja pulang dari Jepang, dan di sana beliau sempat berkunjung ke salah satu pameran desain. Setelah kembali ke Indonesia diadakanlah creative sharing di kantor perihal pameran tersebut, hingga pada akhirnya obrolan kita sampai pada komik Jepang, Manga.
Menurut CD saya, komik Jepang yang sekarang sebegitu hebatnya pada awalnya juga terinspirasi dari komik Barat sama seperti Indonesia. Bedanya adalah Jepang kemudian memproduksi komik yang mempunyai karakter sendiri dan berbeda dengan komik Barat, walaupun mungkin tidak lebih bagus, sedangkan Indonesia plek-njiplek mengadopsinya, hanya menerjemahkan nama dan sedikit memodifikasi kostum hingga jadilah Laba-laba Merah, Gundala, Godham, dkk. Proses ini berkaitan dengan bagaimana cara melihat dan mereproduksi dari masing-masing influencer.
Seperti yang kita ketahui dalam teori intertekstualitas, sebuah teks (verbal/visual) yang muncul tidak akan pernah lepas dari teks terdahulunya, begitupun juga komik. Komik Jepang tidak akan muncul tanpa adanya komik Barat, dan komik Barat mungkin tidak akan muncul tanpa adanya relief Candi Borobudur atau gambar purba di Goa Maros. Yang membedakan adalah bagaimana cara kita melihat dan bagaimana cara kita mereproduksi teks terdahulu menjadi teks hasil buah karya kita saat ini. Dalam fase yang pertama yaitu 'fase melihat', Jepang terbiasa melihat suatu hal dengan membreak down dan menganalisa satu persatu bagian dari apa yang mereka lihat. Misalnya mereka melihat sebuah komik, maka mereka akan memisahkan satu persatu bagian dari komik tersebut, mulai dari font, gaya gambar, elemen grafis, warna, bahan, dsb, untuk memahami mengapa komik tersebut memakai warna itu, memakai font itu, memakai bahan itu, gaya gambar itu, dst.
Setelah mereka mencari tahu alasan hingga issue-issue yang ada di belakangnya barulah mereka menuju fase kedua, 'fase reproduksi'. Pada fase ini mereka mulai mengimplementasikan ke dalam karya buatan mereka bagian-bagian komik tadi yang telah dibreak down dan menganalisa masih relevankah warna itu, tulisan itu, gaya gambar itu, bahan itu, dsb. Jika ternyata tidak relevan, maka kemudian dimodifikasi atau diganti dengan apa yang mereka anggap relevan, hingga pada akhirnya jadilah komik yang berkarakter lokal, dan hampir tidak terlihat terinfluence komik Barat. Mungkin itu salah satu mengapa komik Manga bermata lebar, karena karakter orang Jepang yang bermata sipit, dan mata lebar adalah mata yang diidam-idamkan, sebuah teknik marketing yan baik bukan. Namun sampai saat ini saya tidak pernah habis pikir bagaimana seorang Jepang, Fujiko F. Fujio, mendapat ide untuk memproduksi karakter Doraemon, sebuah robot masa depan berbentuk kucing yang mampu mengeluarkan apa saja dari kantongnya. Sebuah karakter imajinatif yang sangat aneh dan lebih anehnya lagi bisa tetap bertahan sampai saat ini. Memang sepertinya kita harus banyak belajar dari negara yang pernah mengaku-ngaku sebagai saudara tua bangsa kita ini. Tabik.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment