"Tentang benda-benda yang engkau punya dan engkau banggakan. Tentang gaya hidup yang kau kenakan dan bahkan kini kau tuhankan. Tentang kekinian yang selalu saja engkau bicarakan. Tentang status dan posisi tawarmu di penglihatan orang-orang. Tentang nama besar yang engkau sandang dan engkau busungkan. Tentang seberapa pintar dan cemerlangmu di penglihatan orang-orang. Tentang satu, dua, tiga peperangan yang pernah kau menangkan. Kalimat menjatuhkan yang jadi sering engkau ucapkan, kau hujamkan. Jangan harap itu bisa mengesankanku dan menjatuhkanku..." (Jenny-120)

Saturday, June 6, 2009

Orde Militer: Sebuah Potret Pelanggaran HAM


Pernahkah Anda merasa bangga jika memakai baju loreng? Pernahkah Anda merasa gagah jika potongan rambut Anda pendek satu centimeter? Ataukah Anda merasa aman jika tertempel stiker “Keluarga Besar TNI”, “Anggota Kopassus” atau “Anggota POLRI” pada rumah, mobil, atau sepeda motor Anda? Jika Anda pernah merasa seperti itu, atau bahkan saat ini Anda merasa seperti itu, berarti Anda telah tertular wabah “Militerholic”. Itu sebutan khusus karangan saya untuk orang-orang yang merasa berjiwa militer meskipun hanya memakai atributnya saja. Orang-orang seperti ini banyak kita jumpai beberapa puluh tahun lalu bahkan beberapa masih konsisten hingga saat ini. Sebegitu hebatkah militer hingga pantas untuk disanjung dan dielu-elukan oleh banyak orang? Mari kita tilik lebih lanjut dengan kembali ke masa lalu dimana militer mulai menunjukkan eksistensi dan kekuasaannya di Indonesia.

Militer mulai benar-benar menunjukkan tajinya di Indonesia ketika terjadi Peristiwa G 30S/ PKI yang sampai saat ini masih belum terkuak siapa dalang sebenarnya dibalik peristiwa tersebut. Tujuh jenderal dan perwira diculik oleh sekelompok orang bersenjata yang dalam film dokumenternya (masih belum teruji kebenarannya) merupakan Pasukan Cakrabirawa, sebuah pasukan pengaman presiden pada masa itu. Ketujuh jenderal dan perwira tersebut akhirnya ditemukan meninggal dan jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya. Meninggalnya para jenderal tersebut menyulut terjadinya kechaosan dalam pemerintahan dan masyarakat. Akhirnya munculah “cerita” pemberian Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) oleh Presiden RI pada saat itu, Ir. Soekarno, kepada Letjen Soeharto. Surat yang sekarang tidak diketahui rimbanya tersebut digadang-gadang berisi perintah dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto untuk mengembalikan stabilitas nasional yang saat itu sedikit goyah akibat Peristiwa G 30S/ PKI.

Turunnya surat perintah itu ternyata diartikan secara “hiperbola” oleh Letjen Soeharto. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Menteri/ Panglima Angkatan Darat (PANGAD) melakukan tindakan gegabah dengan memvonis PKI sebagai dalang dibalik pembunuhan ketujuh jenderal dan panglima itu. Akhirnya aksi menumpas PKI sampai keakar-akarnya pun digalakkan. Masyarakat yang saat itu sedang labil dengan didukung RPKAD mulai melakukan pembantaian kepada siapa saja yang dituduh PKI atau antek komunis. Tak terhitung secara pasti berapa orang yang terbunuh dari peristiwa “perang saudara” tersebut. Pihak TNI menyebutkan korban tewas sekitar 78.000 jiwa. Tetapi The Washington Post, sebuah harian surat kabar dari Amerika Serikat, menyebutkan korban meninggal mencapai 500.000 jiwa¹. Selain PKI, etnis Tionghoa yang berada di Indonesia pun ikut terkena imbasnya. Banyak dari mereka yang dituduh komunis hingga kemudian dibunuh, diperkosa, diusir, hingga dikekang keeksistensiannya. Setelah peristiwa tersebut akhirnya Orde Baru berkuasa dengan Soeharto sebagai lakon utamanya setelah diangkat menjadi Presiden RI lewat Sidang Umum MPRS. Rezim Milter akhirnya resmi tegak berdiri di Indonesia dan siap “mengepakkan sayap tajamnya”.

Tampilnya Rezim Militer di pemerintahan akhirnya membawa dampak diberikannya peran baru bagi TNI, selaku almamaternya. Mereka dilegalkan membentuk kekuatan sosial-politik bertajuk ABRI. Dengan kata lain, TNI tidak hanya menjadi alat keamanan negara tetapi juga menjadi kendaraan politik, atau yang terkenal dengan Dwifungsi ABRI. Mereka berkamuflase menjadi Partai Golongan Karya. Terhitung Golkar menjadi partai dominan dalam tujuh kali pemilu berturut-turut². Pelencengan fungsi dari TNI itu praktis mendapat serbuan kritik dari segelintir aktivis dan mahasiswa. Dan atas nama keamanan negara serta stabilitas nasional, TNI secara legal diperbolehkan untuk menggunakan wewenangnya, dalam hal ini tentu saja untuk menggunakan senjata dan melakukan tindak kekerasan.

Mulailah terjadi peristiwa-peristiwa tragis di bumi Indonesia. Pada sekitar tahun 80an muncul “Petrus” atau Pembunuhan Misterius (ada yang menyebutnya Penembak Misterius). Orang-orang yang dianggap mengganggu stabilitas nasional diculik dan dibunuh. Tak kurang sekitar 5000 sampai 10.000 orang yang dianggap preman hilang dan tidak pernah kembali. Selain itu masih ada peristiwa lain yang juga tidak kalah mengerikan yaitu “Peristiwa Tanjung Priok”. Sebuah kelompok pengajian yang dianggap menyimpang dari Pancasila dibantai secara massal. Sekitar 1500 orang dikepung oleh pasukan bersenjata beserta truk-truk militer dan kendaraan berat. Ribuan peluru dimuntahkan dan orang-orang tak bersenjata tersebut berjatuhan. Setelah itu mayat-mayat mereka diangkut truk-truk militer dan mobil pemadam kebakaran menyemprotkan air untuk membersihkan TKP. Lenyaplah bukti dan sisa-sisa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.

Kebrutalan militer terhadap ormas Islam ternyata masih berlanjut. Kelompok Pengajian Warsidi, yang juga dianggap menyimpang dari Pancasila, tidak ketinggalan dibantai oleh tiga peleton Batalion 143 Gatam (sekitar 100 orang) dan 40 anggota Brimob di kawasan Umbul Cihideung. Tidak kurang sekitar 250 orang tewas dan sebagian darinya adalah anak-anak dan perempuan³. Peristiwa tersebut masih diikuti dengan penculikan para pedakwah dan aktivis Islam. Pemerintahan Orde Baru memang tidak menginginkan Islam berkembang menjadi sebuah kekuatan politik. Pancasila harus menjadi azas tunggal dalam sebuah partai politik dan ketetapan tersebut banyak ditentang oleh kalangan Islam. Konsekuensinya, mereka harus berhadapan dengan pasukan penjaga keamanan dan stabilitas nasional, dalam hal ini tentu saja TNI.

Kisah kebrutalan militer tidak berhenti sampai disini saja. Kelompok atau orang-orang yang tidak sejalan dengan pemerintah terus diburu dan dibunuh. Pelanggaran HAM oleh penguasa dan militer mulai merajalela. Mulai dari peristiwa hilangnya aktivis buruh Marsinah yang akhirnya ditemukan tewas, pelarangan beredarnya buku karangan Pramoedya Ananta Toer dan karangan para aktivis Islam seperti Abdul Qodir Djaelani, hingga pencekalan buku yang memuat pelurusan Peristiwa G 30S/ PKI yang ditulis oleh orang asing. Pers pun dikekang dan tidak boleh memuat berita secara bebas, riil dan nyata. Wartawan yang liputannya mulai menyerempet kejahatan para penguasa diburu dan dieksekusi. Salah satunya Udin, wartawan yang tewas terbunuh setelah meliput korupsi di kalangan pejabat. Semuanya itu dianggap mengancam stabilitas nasional dan keutuhan bangsa sehingga perlu dibasmi. Pengekangan kebebasan dan pelanggaran HAM itu jelas mengganjal hati para aktivis dan mahasiswa. Gerakan bawah tanah anti pemerintahan mulai bermunculan. Terjadilah demonstrasi-demonstrasi damai yang pada akhirnya menjadi tragedi berdarah di Indonesia.

Diawali dengan penyerangan markas PDI pimpinan Megawati oleh massa PDI Soerjadi yang didukung gerombolan orang kekar berambut cepak yang ber”mimikri” dengan kostum PDI Soerjadi. Puluhan orang dinyatakan tewas dan terluka. Kebrutalan dilanjutkan dengan penangkapan aktivis Partai Rakyat Demokrat (PRD) yang diduga proMegawati. Di luar itu, terjadi juga tragedi berdarah dalam demo mahasiswa di Makassar, Jogja, Solo, Surabaya, Bali, dan sebagainya. Penculikan dan kekerasan terhadap aktivis dan mahasiswa semakin sering terjadi dan menyebabkan emosi rakyat ikut memuncak. Kerusuhan dan penjarahan terjadi di berbagai tempat, mulai dari Situbondo, Tasikmalaya, sampai Lhokseumawe. Dan puncak pelanggaran HAM oleh militer adalah terjadinya tragedi Semanggi dan Trisakti. Sejumlah mahasiswa tewas tertembak saat melakukan demo simpatik. Mahasiswa dan rakyat akhirnya bersatu dan bergerak menduduki gedung MPR/ DPR. Dampak kejadian ini adalah lengser keprabonnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Dengan kata lain Orde Baru tumbang dan digantikan Orde Reformasi.

Pergantian orde ini ternyata tidak membuat pelanggaran HAM di Indonesia berhenti. Pengaruh kebrutalan militer dan penguasa di jaman dulu ternyata masih melekat erat pada orang-orang yang kini berkuasa di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Militer masih menunjukkan eksistensinya meskipun tidak secara langsung. Banyak pensiunan ABRI yang menjadi pejabat, birokrat, atau pimpinan partai politik. Bahkan presiden sekarang pun dari kalangan militer. Sejalan dengan itu, kasus pelanggaran HAM di Indonesia seakan tidak pernah bisa “tutup buku”. Kisah pelanggaran HAM berat oleh militer dan penguasa di masa Orde Baru tidak terusut sampai tuntas. Pemerintah seakan masih pakewuh untuk membawa mantan penguasa Orde Baru sebagai aktor utama dan antek militernya ke meja hijau.

Kasus Orde Baru belum selesai, kini muncul pelanggaran HAM baru yang tidak kalah memprihatinkan yaitu kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Para petinggi Badan Intellegent Negara (BIN) dicurigai berada di balik kasus pembunuhan terencana ini. Dan seperti sudah menjadi tradisi, kasus inipun belum mampu menemui titik terang. Belum lagi pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya mulai dari penggusuran dengan gaya militer yang semakin merajalela, lumpur Lapindo yang menyengsarakan banyak orang, penertiban dengan kekerasan para pedagang kaki lima, hingga melejitnya harga-harga kebutuhan pokok yang membuat rakyat miskin semakin menderita. Pelanggaran HAM di Indonesia memang susah berhenti karena terkesan sudah “akut” dan menjadi tren/ budaya warisan. Satu kasus belum selesai, muncul kasus-kasus pelanggaran HAM yang lain. Begitupun dengan budaya militerisme yang pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Mulai dari kekerasan yang seakan sudah menjadi cara utama memecahkan masalah, budaya tawuran antar geng atau kelompok, hingga kriminalitas yang semakin lama cenderung semakin meningkat. Tampaknya semboyan “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang dipopulerkan oleh R.A Kartini susah diterapkan di negeri kita tercinta ini. So, berminat masuk Akmil?[]

1 comment:

  1. salah satu jalan kita mesti rekrut masa buat dasar kekuatan, dan nantinya kita hancurkan pejabat kalangan atas yg anti hukum / kebal hukum. kita tahu zaman sekarang pihak yg benar bisa jadi salah. dan oknum oknum pemerintah yg kebal hukum tersebut saat ini mereka menggalang kekuatan tersembunyi dgn menyewa bodyquard handal,yg sampai saat ini licin utk di buktikan keberadaanya. saya tahu salah satu pejabat yang slslu membayar bodyquard berdarah dingin yg namanya tidak perlu saya uraikan saat ini..., maka dari itu kita galang kekuatan internal kemudian nanti saatnya kita bumihanguskan kerajaan mereka...!!!

    ReplyDelete