"Tentang benda-benda yang engkau punya dan engkau banggakan. Tentang gaya hidup yang kau kenakan dan bahkan kini kau tuhankan. Tentang kekinian yang selalu saja engkau bicarakan. Tentang status dan posisi tawarmu di penglihatan orang-orang. Tentang nama besar yang engkau sandang dan engkau busungkan. Tentang seberapa pintar dan cemerlangmu di penglihatan orang-orang. Tentang satu, dua, tiga peperangan yang pernah kau menangkan. Kalimat menjatuhkan yang jadi sering engkau ucapkan, kau hujamkan. Jangan harap itu bisa mengesankanku dan menjatuhkanku..." (Jenny-120)

Friday, June 5, 2009

Budaya Pop sebagai Instrumen Komunikasi


Siapa yang tidak mengenal Crayon Sinchan. Tokoh komik asal Jepang yang juga sering muncul rutin di televisi ini sangat populer sekitar awal tahun 2000an. Komiknya yang menggunakan kata-kata yang tidak baku (gaul), visual tokohnya yang sangat ngartun, serta karakternya yang khas dan terkesan tidak mendidik mampu beredar laris di pasaran. Tayangan televisinya (yang ditayangkan setelah komiknya laris) pun seakan-akan enggan untuk dilewatkan. Karakter suara khas dari Sinchan sempat menjadi trend dan banyak ditirukan oleh anak-anak pada masa itu. Itulah salah satu contoh budaya ngepop yang sempat merasuk di Indonesia pada sekitar awal tahun 2000an.

Pop art yang berasal dari kata popular art merupakan sebuah aliran seni yang memanfaatkan simbol-simbol dan gaya visual yang berasal dari media massa yang populer seperti koran, majalah, iklan, televisi, komik ataupun kemasan barang dan gaya supermarket (Arif Adityawan, 1999:99). Selain itu, menurut Gregg Berryman, pop art merupakan bentuk perluasan subyek seni yang berasal dari (kemasan) desain grafis kemasan, tanda, billboard, iklan, teknik reproduksi komersial (Didi Subandi, www.komvis.com). Sedangkan Iwan Darmawan menyebutkan bahwa pop art merupakan karakter penggambaran semua aspek dari kebudayaan populer yang memberikan dampak yang kuat dari kehidupan kontemporer. Ikonografi yang dipakai diambil dari televisi, buku komik, majalah film, dan semua bentuk advertising yang disampaikan secara empati dan objektif tanpa memuja atau penghukuman tetapi dengan menunjukkan kesegaran dalam arti tetap menunjukkan ketepatan teknik komersial yang dipakai media dari ikonografi yang dipinjam (Iwan Darmawan, Denpost). Mungkin dari semua penjelasan tadi dapat ditarik pengertian yang lebih sederhana dari pop art (kesenian/budaya pop) yaitu sebagai aliran seni yang karya-karyanya mengambil unsur-unsur dari media massa yang sedang berkembang pada masa itu. Dengan kata lain pop art bukan merupakan karya yang benar-benar asli dan baru melainkan sebuah karya yang dibuat dengan mengambil atau “meminjam” unsur-unsur dari karya yang lain yang kemudian dirangkai dan didesain kembali untuk menghasilkan karya baru.

Pop art pertama kali dipopulerkan oleh Andy Warhol dari Amerika yang merepetisi foto wajah-wajah artis Hollywood seperti Marilyn Monroe atau Elvis Presley dengan silk screen dan menggunakan warna-warna komplementer. Hasilnya wajah-wajah artis tersebut muncul dengan warna-warna yang unik dan berbeda dari aslinya. Karya-karya seperti ini biasanya diproduksi untuk cover-cover album atau poster pertunjukan musik, meski kemudian berkembang untuk poster-poster sosial sampai poster komersil. Pada masa itu budaya pop art pada dasarnya adalah sebuah penentangan dari budaya modern yang yang cenderung statis dan berdesain jangka panjang. Sangatlah aneh jika sebuah desain yang digunakan untuk sebuah produk jangka pendek harus memiliki nilai estetik yang berlaku selamanya. Menurut orang-orang yang menentang budaya modern, estetika barang-barang yang bersifat konsumptif harus berangkat dari budaya populer dan berdasarkan gaya yang mudah dikenal dan dinikmati masyarakat umum. Misalnya desain mobil harus menampilkan unsur-unsur dekoratif yang kokoh sehingga menimbulkan kesan kuat bagi orang-orang yang melihatnya.

Pada masa-masa kemunculan perdananya banyak kalangan yang beranggapan bahwa karya pop adalah karya yang tidak mempunyai nilai estetik dan hanya sebuah karya yang diciptakan untuk kesenangan belaka. Tapi disamping itu banyak pula orang yang beranggapan bahwa karya pop adalah sebuah karya yang tercipta dari kebebasan berekspresi dan membuktikan bahwa tidak adanya diskriminasi dalam seni. Bahkan ada yang beranggapan bahwa dengan karya pop, masyarakat diajak untuk lebih obyektif dalam melihat sebuah karya (pada masa itu banyak orang yang beranggapan bahwa ada dominasi seniman abstrak ekspresionis dari Eropa dan Amerika). Selain itu karya pop juga dianggap dapat mewakili keadaan sosial yang ada dalam masyarakat yang secara cepat dieksploitasi dan disebarkan lewat media massa. Dengan kata lain karya pop dianggap merupakan sebuah kebersamaan pandangan, baik oleh pengamat seni, masyarakat umum, ataupun orang yang tidak mengerti seni sekalipun.

Sebagai media komunikasi, pop art (kesenian/budaya pop) sangat tergantung pada media massa. Tanpa media massa tidak akan ada budaya pop. Hal ini karena media massa yang mempunyai peran untuk menyebarluaskan dan mempopulerkan sebuah karya seni yang bisa diterima sebagai karya pop. Sifat media massa yang mampu menjadi penghubung sebuah karya pop dari penciptanya ke masyarakat umum membuat budaya pop mampu berkembang pesat sebagai media komunikasi yang sangat populer. Namun disamping itu, sebagai media komunikasi budaya pop memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya adalah budaya pop bersifat kontemporer dan tidak bertahan lama. Hal ini disebabkan karena budaya pop menggunakan media massa sebagai media komunikasinya sehingga bisa diproduksi secara massal dan selalu up to date. Ini menyebabkan sebuah karya pop hanya menjadi fenomena sesaat. Hampir tidak ada karya pop yang menjadi trend adiluhung dan bertahan lama. Kalaupun ada, mungkin hanya satu dari seribu karya. Masyarakat cenderung mudah menerima karya pop yang baru dan dengan mudah pula melupakan karya pop yang lama. Misalnya saja komik Sinchan tadi. Saat pertama kali muncul komik ini sangat fenomenal dan laris manis dipasaran. Tapi pada saat ini, seiring munculnya komik-komik yang hampir serupa mungkin hanya segelintir orang saja yang masih membaca komik tersebut atau menonton tayangannya di televisi.

Selain ketidakkonsistenannya tadi, budaya pop yang sifatnya menjadi trend yang fenomenal (walaupun hanya sesaat) membuat karya-karyanya sering mengalami penjiplakan. Karya yang laris manis jelas merupakan bisnis yang menggiurkan bagi sekelompok oknum pembajak karya. Media massa yang digunakan sebagai senjata untuk menyebarluaskan karya pop kini menjadi “bumerang”. Teknologi yang berkembang pesat membuat karya pop mudah dan memang terkesan “aman” untuk dijiplak. Mulai banyak komik-komik bajakan yang beredar dan laris manis dipasaran seakan-akan memberikan gambaran bahwa masyarakat hanya ingin mudah mendapatkan sebuah karya yang bagus dan fenomenal tanpa memikirkan apakah peciptannya menjadi sejahtera atau malah berhenti membuat karya karena tidak mendapat keuntungan. Hal ini karena budaya pop hanya menciptakan hubungan yang longgar antara pihak-pihak yang terjalin dan tidak menimbulkan ikatan emosi. Kalaupun muncul panggemar yang fanatik, itu hanya kamuflase budaya pop semata. Kasus penjiplakan ini sangat mewabah pada karya-karya musik yang sempat menjadi populer. Kaset dan cd bajakan seakan laris manis dan mengungguli penjualan kaset atau cd originalnya.

Contoh lain adalah iklan testimonial yang sempat populer sekitar tahun 2000an. Pertama muncul cukup menarik perhatian dengan tampilan orang yang mengaku penggemar berat sebuah produk dan mengajak masyarakat untuk mengikutinya. Lalu layaknya jamur dimusim semi berbagai produk mulai beriklan dengan iklan testimonial. Tapi sesuai dengan sifat kontemporernya tadi, budaya iklan seperti ini sekarang sudah mulai berkurang meskipun masih ada yang memakainya, khususnya di Indonesia. Mungkin sekarang sedikit berubah dengan mengganti testernya yang dulu orang biasa kini dengan artis-artis terkenal. Misalnya iklan sebuah produk mie instant yang dibintangi artis Titi Kamal, atau iklan sabun cuci yang dibintangi Luna Maya. Iklan-iklan tersebut masih mengandalakan strategi iklan yang terkesan sudah “kuno” dan ketinggalan jaman. Tapi sering kali muncul pertanyaan apakah benar Titi Kamal selalu makan mie tersebut? Apakah benar Luna Maya selalu mencuci dengan sabun tersebut? Atau malah mereka tidak pernah memakan atau memakainya?

Dari uraian diatas mungkin dapat disimpulkan bahwa budaya pop memang mampu menjadi media komunikasi yang sangat fenomenal dan mampu menyebarluaskan pengaruhnya dengan cepat seiring perkembangan media massa yang semakin pesat. Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa budaya pop sering menjadikan sebuah karya menjadi sangat tidak berharga karena dengan mudahnya diplagiat dan dengan mudahnya pula digeser oleh karya lain yang lebih up to date. Mungkin dapat dikatakan bahwa dengan budaya pop, sebuah karya akan dengan mudah menjulang, tapi dengan mudah pula menghilang. So, masih ingin ngepop?

3 comments: