"Tentang benda-benda yang engkau punya dan engkau banggakan. Tentang gaya hidup yang kau kenakan dan bahkan kini kau tuhankan. Tentang kekinian yang selalu saja engkau bicarakan. Tentang status dan posisi tawarmu di penglihatan orang-orang. Tentang nama besar yang engkau sandang dan engkau busungkan. Tentang seberapa pintar dan cemerlangmu di penglihatan orang-orang. Tentang satu, dua, tiga peperangan yang pernah kau menangkan. Kalimat menjatuhkan yang jadi sering engkau ucapkan, kau hujamkan. Jangan harap itu bisa mengesankanku dan menjatuhkanku..." (Jenny-120)

Sunday, June 7, 2009

Sosialisme Post-Reformasi


Sosialisme, kata ini sekarang mulai kembali sering disebut-sebut seiring maraknya isu neoliberalisme menjelang pemilihan presiden tahun 2009. Isu neoliberalisme sendiri mulai muncul ke permukaan ketika salah satu kandidat presiden incumbent dan sering dikatakan mendapatkan polling tertinggi dari kandidat lainnya, menunjuk seorang yang dianggap bermazhab liberal sebagai calon wakil presiden yang akan mendampinginya pada pemilihan presiden bulan Juli tahun 2009. Protes dan keberatan pun mulai muncul dari berbagai kalangan masyarakat dengan ditandai banyaknya aksi menolak dieksistensikannya paham liberalisme. Mulai dari aksi demo mahasiswa, pembuatan spanduk anti-liberalisme, hingga banyaknya diskusi dan debat yang berkaitan dengan dialektika liberalisme. Penolakan tersebut pada dasarnya adalah bertujuan untuk menolak calon pemimpin bangsa yang menggunakan mazhab liberalisme dalam memimpin dan mengelola negara, khususnya di bidang ekonomi dan sosial-budaya. Ekonomi liberal dianggap akan semakin mempersulit dan memperburuk hidup masyarakat Indonesia yang saat ini sudah sangat memprihatinkan. Liberalisasi di bidang pendidikan juga dianggap akan membuat pendidikan di Indonesia semakin mahal dan sulit terjangkau. Dari debat publik, diskusi dan analisis para ahli mulai sering disebutkan istilah ekonomi kerakyatan yang dianggap sebagai lawan dari ekonomi liberalisme, salah satu cabang liberalisme yang paling populer. Ekonomi kerakyatan sendiri pada dasarnya lebih cenderung mengarah ke mazhab sosialisme meskipun terkadang orang-orang enggan menyebut kata sosialisme karena masih saja dianggap identik dengan komunisme.

Ekonomi : Sosialisme vs Liberalisme
Sosialisme adalah paham yang bertujuan membentuk negara kemakmuran dengan usaha kolektif yang produktif dan membatasi milik perseorangan (e-dukasi.net). Sedangkan liberalisme, masih menurut e-dukasi.net, dapat diartikan sebagai paham kebebasan yang menghendaki adanya kebebasan individu, sebagai titik tolak dan sekaligus tolok ukur dalam interaksi sosial. Menurut Wikipedia.org, ekonomi sosialisme adalah sebuah paham yang berpijak pada konsep Karl Marx tentang penghapusan kepemilikan hak pribadi. Dengan kata lain prinsip ekonomi sosialisme menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan dalam beberapa komoditas penting dan menjadi kebutuhan masyarakat banyak seperti air, listrik, bahan pangan, dan sebagainya. Sedangkan liberalisme menurut Wikipedia.org adalah sebuah paham yang menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama serta menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, serta menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu.

Dari sini jelas terlihat adanya sisi yang saling bertolak belakang dan berlawanan dari mazhab sosialisme dan liberalisme, khususnya di bidang ekonomi. Ekonomi liberal menuntut adanya kebebasan individu yang tak terbatas dan kendali ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Negara tidak diperbolehkan melakukan monopoli dan ikut campur, apalagi melakukan kontrol dan intervensi. Itulah yang meyebabakan banyak orang mengatakan bahwa ekonomi liberalis merupakan sebuah mazhab yang dijunjung dan menjadi panutan para pelaku ekonomi yang sudah mapan (bisnisman kaya). Lalu apa peran pemerintah dalam ekonomi liberal? Dalam ekonomi liberal peran pemerintah hanyalah sebagai pengawas agar kebebasan tak terbatas setiap individu tetap dapat terpenuhi dan terlindungi. Ya, hanya sampai disitu peran pemerintah dalan sistem ekonomi liberal. Sistem ekonomi inilah yang nantinya akan bermuara pada sistem ekonomi kapitalisme.

Jika ekonomi liberalisme menuntut adanya kebebasan tak terbatas dari setiap individu untuk melakukan kegiatan ekonomi dalam suatu negara, maka berbeda dan bertolak belakang dengan ekonomi sosialisme. Sistem ekonomi sosialisme menuntut peran pemerintah dalam perekonomian sebuah negara demi tercapainya pemerataan sosial, penghapusan kemiskinan, dan kemakmuran bersama. Dalam sistem ini komoditas-komoditas perekonomian yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak seperti air, minyak, listrik, dan sebagainya dikuasai dan dikendalikan oleh negara. Dengan hal ini diharapkan kesenjangan sosial dalam masyarakat dapat teratasi dan akhirnya dapat membawa kehidupan seluruh masyarakat menuju ke arah kemakmuran. Sistem ekonomi yang cenderung ke arah sosialisme dan sering dikatakan sebagai sistem ekonomi kerakyatan inilah yang dianggap cocok dan pas jika diterapkan di Indonesia. Kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan menuntut adanya peran aktif pemerintah dalam bidang ekonomi agar kebutuhan pokok masyarakat dapat tetap terjamin dan terpenuhi. Dengan adanya peran pemerintah tersebut diharapkan tidak ada cerita adanya orang kelaparan dan kekurangan makanan serta air bersih. Jaminan dari pemerintah ini menjadi penting mengingat daya beli dan pendapatan masyarakat Indonesia yang masih rendah dan jauh dari kecukupan. Jika di Indonesia diterapkan sistem ekonomi liberal apalagi global, dipastikan kehidupan rakyat Indonesia akan semakin tercekik dan perkonomian rakyat Indonesia sedikit demi sedikit akan hancur tergerus arus globalisasi dan modal asing. Rakyat miskin yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keahlian serta modal besar akan semakin terpinggirkan. Maka benar-benar menjadi nyatalah istilah “yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin”.

Sosialisme di era pasca-reformasi
Sering orang mengatakan bahwa sebuah paham akan selalu berkembang sesuai dengan jamannya. Jika dulu komunisme sempat hampir mencapai puncaknya, kini paham tersebut semakin surut. Hanya beberapa negara saja yang masih memakai paham tersebut. Komunisme yang kini dipakai oleh Cuba pun tidak lagi identik dengan komunisme yang sempat jaya di Uni Sovyet dulu, dengan kata lain paham ini mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan jaman. Begitupun dengan paham sosialisme. Sosialisme yang muncul di Indonesia sejak jaman pergerakan dulu di era Tan Malaka, hingga jaman pasca reformasi seperti sekarang di era Fadjroel Rahman banyak mengalami perubahan dan perkembangan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pemikiran tokoh-tokoh sosialisme Indonesia seperti Tan Malaka, Sutan Syahrir, hingga Fadjroel Rahman itu berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut selain disebabkan oleh pemahaman serta pengaruh pemikiran sosialisme yang menjadi dasar pijakan tokoh-tokoh tersebut juga disebabkan oleh konteks sosialisme yang ada pada jamannya masing-masing. Sosialisme era pergerakan nasional di jaman Tan Malaka, sosialisme pasca-kemerdekaan di era Sutan Syahrir, dan sosialisme pasca-reformasi yang kembali muncul setelah sekian lama bungkam di era Fadjroel Rahman.

Pada jaman Tan Malaka dimana Indonesia belum merdeka dan masih menjadi negara jajahan, sosialisme yang didengung-dengungkan Bapak Republik Indonesia ini lebih pada penerapan sosialisme dalam ranah ideologi. Ideologi sosialisme di era ini digunakan untuk mencari keadilan bagi rakyat Indonesia yang pada saat itu banyak menjadi buruh dan pekerja dan masih dilanggar dan tidak diperhatikan haknya. Perkembangan sosialisme di era ini memunculkan istilah Massa-Actie, yaitu gerakan-gerakan oleh buruh yang menuntut keadilan dan diperhatikannya hak-hak asasi mereka. Mungkin pada saat sekarang lebih dikenal dengan istilah aksi mogok dan demonstrasi. Kehidupan buruh dan kemakmuran rakyat Indonesia dituntut untuk lebih diperhatikan pada sosialisme era ini. Aksi-aksi progressif Tan Malaka ini membuat Tan Malaka dianggap sebagai sosialis kiri dan terpengaruh paham komunisme yang sempat melejit di Uni Sovyet.

Setelah Indonesia merdeka dan memasuki tahap pembangunan dan penguatan ekonomi muncul dan menunjukkan tajinya para pemikir-pemikir sosialis Indonesia yang lain. Berbeda dengan Tan Malaka yang berpikiran sosialis radikal dan progresif, sosialisme Sutan Syahrir lebih moderat dan menggunakan jalur diplomasi. Bisa dikatakan jika Tan Malaka menganut paham sosialisme kiri, Sutan Syahrir lebih ke arah sosialisme kanan. Dengan kata lain ada unsur liberal dalam sosialisme Sutan Syahrir. Sumbangsih Sutan Syahrir yang paling besar dan mudah diingat serta menjadi bukti penerapan paham sosialis moderat adalah dirubahnya sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer, dimana Syahrir menjadi perdana menteri pertamanya Hal ini pada dasarnya digunakan dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan presiden pada saat itu. Sutan Syahrir juga memberi pengaruh dengan munculnya istilah “sosialisme kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pada jaman Sutan Syahrir ini sosialisme yang dianutnya banyak dirancukan dengan komunisme. YB Mangunwijaya bahkan berpendapat bahwa “seolah-olah sosialisme Syahrir sama sebangun dengan komunisme, sedang kapitalisme, lebih buruk lagi kapitalisme semu bahkan didewakan sebagai penjabaran Pancasila dalam ekonomi”. Manguwijaya melanjutkan bahwa sosialisme lndonesia Syahrir bukan berdasarkan marxisme, bahkan sosialismenya menentang komunisme. Dalam hal ini Syahrir berpendapat bahwa pemerintahan tidak bisa disamakan dengan kelas. Pemerintahan yang ada entah itu pemerintahan buruh atau borjuasi tidak dipermasalahkan, alias sama saja. Inilah mengapa Sutan Syahrir dianggap sebagai sosialis kanan anti-komunis yang tetap mempertahankan hak hidup kaum kapitalis. Pada jaman ini muncul juga istilah “koperasi” yang didengung-dengungkan dan dipilih Mohammad Hatta daripada ekonomi kapitalis sebagai bentuk masih adanya paham-paham sosialisme yang berpengaruh di Indonesia.

Setelah cukup terkubur dan tenggelam pada masa pemerintahan Orde Baru, pemikiran sosialisme kembali muncul di era pasca-reformasi. Pemikiran-pemikiran sosialisme dalam ranah ekonomi muncul akibat dampak dari ambruknya sistem ekonomi liberal seiring terjadinya krisis keuangan global. Perekonomian Barat yang menganut sistem liberalisme akhirnya mencapai titik anti-klimaks yang menyebabkan bursa-bursa saham hancur dan pertumbuhan ekonomi minus. Pemikir-pemikir sosialis Indonesia di era pasca-reformasi seperti Fadjroel Rahman beranggapan bahwa krisis yang terjadi akibat dari kegagalan pasar. Amerika tidak mau menandatangani internasional human right ekonomi sosial dan budaya, karena yang terpenting bagi mereka hanya sipil dan politik. Sedangkan ekonomi, sosial dan budaya diserahkan kepada mekanisme pasar. Inilah yang mendapatkan penentangan dari Fadjroel Rahman. Fadjroel lebih menekankan kebebasan sebebas-bebasnya hak manusia dalam bidang politik, tetapi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya nanti dulu. Jaminan sosial universal harus tetap ada. Semua orang harus mendapatkan hak yang sama, pendididkan yang sama, kesehatan yang sama, tanpa membedakan pembagian dari prosesnya yang paling bawah hingga kelompok target yang lebih luas. Negara harus menjamin pembagian yang adil dan merata dalam bidang ini, yaitu sosial, ekonomi, dan budaya. Sosialisme di era Fadjroel Rahman lebih terlihat mengarah ke liberalisme kiri, dimana tidak seratus persen membenarkan adanya pengaruh dan peran pemerintah dalam kehidupan berpolitik warganya, tetapi cukup dengan adanya jaminan kesamaan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Liberalisasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya akan membawa dampak yang buruk bagi kehidupan rakyat Indonesia dan kemajuan bangsa Indonesia, karena memang rakyat Indonesia belum siap menghadapi paham liberalisme ini. Sayangnya liberalisasi di bidang-bidang ini sudah mulai muncul akibat terpengaruhnya Indonesia oleh globalisasi dan pemerintahan gaya Barat.

Dalam bidang ekonomi misalnya, dalam pasal 33 UUD 1945 jelas diterangkan tentang perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Lalu diteruskan dengan perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kenapa pasal tersebut berbunyi seperti itu? Karena para “founding father” kita tahu bahwa jika cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup rakyat jatuh ke tangan penguasaan personal atau bahkan asing maka rakyat bisa tertindas. Jika tidak ada jaminan masyarakat mendapatkan kesamaan hak yang sama di bidang ekonomi, dengan kata lain hanya yang kaya yang bisa membeli, rakyat akan semakin jauh menderita dan terpuruk. Negara harus tetap mengatur dan mensubsidi kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat karena memang rakyat Indonesia masih membutuhkan subsidi tersebut. Rakyat Indonesia sampai saat ini belum siap memasuki perekonomian liberal. Jangankan rakyat Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri saja belum siap. Buktinya perusahaan pertambangan banyak yang jatuh dan dikuasai asing. Kalau misalnya liberal, kenapa tidak bisa dikuasai orang Indonesia sendiri? Ironisnya Indonesia hanya mendapatkan keuntungan dari pajaknya saja. Aneh memang, Indonesia yang kaya akan minyak dan hasil tambang lainnya harus mengikuti pasar global dalam menentukan harga minyak yang sebenarnya dihasilkan dari perut Indonesia sendiri. Kenapa harganya tidak bisa ditentukan sendiri? Inilah dampak dari liberalisme yang menyebabkan Indonesia mengalami imperialisme gaya baru. Pejajahan yang dulu dilakukan secara fisik dan penguasaan wilayah, kini cukup dengan penanaman modal asing. Over capitalism kembali menguasai perekonomian Indonesia saat ini.

Contoh lainnya adalah dalam bidang pendidikan yang saat ini mulai menjurus ke arah liberalisme-kapitalisme. Munculnya Badan Hukum Pendidikan (BHP) dianggap sebagai bukti konkrit dan titik kulminasi liberalisasi dan kapitalisasi dalam bidang pendidikan di Indonesia. Janji adanya BHP yang akan membuat pendidikan di Indonesia semakin murah dan terjangkau hanya omong kosong belaka. Institusi pendidikan yang belum siap akan adanya undang-undang ini hanya bisa mendapatkan dana operasional kampus dari para mahasiswanya. Hasilnya biaya pendidikan bertambah dengan diterapkannya sumbangan-sumbangan yang beraneka ragam. Kelas yang dibuka pun semakin banyak (ditambah dengan kelas-kelas non-reguler misalnya) demi mendapatkan dana yang semakin banyak pula. Semakin banyak mahasiswa, semakin banyak uang yang datang dan mengalir. Hasilnya proses pendidikan dan transfer of knowledge menjadi tidak efektif. Lalu dimanakah peran pemerintah yang katanya “mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin rakyat Indonesia mendapatkan pendidikan”? Bagaimana mau jadi bangsa yang bermartabat kalau rakyatnya ingin bersekolah saja masih susah. Lagi-lagi rakyat hanya bisa mengeluh.

Oleh karena itu benar adanya jika di Indonesia. masih dibutuhkan sistem sosialisme di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Negara dan pemerintah harus tetap bertanggung jawab mengatur dan mengelola bidang ekonomi dan pendidikan masyarakat. Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus tetap dikuasai negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran bangsa. Negara harus tetap bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalaupun ada BUMN yang merugi itu bukan salah sistem ekonomi sosialis-kerakyatannya, melainkan pada pengelolaan dan operasionalnya. Kalau misalnya Garuda merugi terus, bukan lantas menjual Garuda kepada perorangan atau bahkan asing, melainkan perbaiki sistem pengelolaan dan manajemen pengoperasionalannya. Kalau misalnya masih banyak rakyat Indonesia yang miskin, bukan berarti harus mengubah sistem ekonomi dari sosialis-kerakyatan menjadi liberal, tetapi perbaiki penerapan dan implementasi dari paham ekonomi sosialis-kerakyatan tersebut. Jangan mengaku penganut paham sosialis-kerakyatan tetapi dalan kenyatanaanya menjual BUMN dan menerbitkan UU BHP. Sosialisme pasca-reformasi memang tidak membenarkan adanya intervensi yang berlebihan dari pemerintah di bidang politik. Rakyat harus bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan pandangan politik mereka. Tetapi dalam bidang ekonomi sosial dan budaya, pemerintah harus tetap berperan aktif memjukan kesejahteraan umum. Sosialisme pasca-reformasi memang berbeda dengan sosialisme jaman dulu. Jika dulu sosialisme yang berkembang murni sosialisme dan condong ke arah komunis, lalu sosialisme yang menjurus liberal, kini sosialisme pasca-reformasi lebih condong ke liberal tetapi tetap memperhatikan jaminan sosial masyarakat. Boleh liberal dalam bidang politik, bahkan liberal seliberal-liberalnya, tapi nanti dulu jika ingin menerapkan paham liberalisme di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. []

2 comments:

  1. apakah selamanya akan demikian, sosialisme dihadapkan dengan neoliberalisme? apakah obat neoliberaslisme ya sosialisme. apa tidak bisa keluar dari pengkotakan tersebut alih-alih dengan gagasan sosialismeliberal namun dengan penekanan tidak untuk semua bidang. rupanya, kita belum memiliki platform sahih yang bisa untuk mengatasi semua bidang. jangan lupa, liberalisasi dalam pendidikan juga tak baik. meski di kampus terdapat program wirausaha untuk mahasiswa, semoga kampus tak menjadi kampus enterpreunership.

    ReplyDelete
  2. terima kasih tanggapannya Pak..
    mungkin kalo liberal tapi sosialis di bidang lainnya itu yg dmksudkan dgn liberal kiri, dan sosialis tapi liberal di bidang lain itu yg dsebut sosialis kanan...tapi terlepas dari itu sepertinya memang lawan dari liberal adalah sosialis, khususnya di bidang ekonomi.. karena memang kelahiran sosialisme adlah untuk menentang munculnya liberalisme dan kapitalisme..nuwun..

    ReplyDelete