"Tentang benda-benda yang engkau punya dan engkau banggakan. Tentang gaya hidup yang kau kenakan dan bahkan kini kau tuhankan. Tentang kekinian yang selalu saja engkau bicarakan. Tentang status dan posisi tawarmu di penglihatan orang-orang. Tentang nama besar yang engkau sandang dan engkau busungkan. Tentang seberapa pintar dan cemerlangmu di penglihatan orang-orang. Tentang satu, dua, tiga peperangan yang pernah kau menangkan. Kalimat menjatuhkan yang jadi sering engkau ucapkan, kau hujamkan. Jangan harap itu bisa mengesankanku dan menjatuhkanku..." (Jenny-120)

Friday, June 5, 2009

Desain Kemasan: Ketika Shoping MenjadiI Budaya Pop


Kemasan sebuah produk tentulah tidak asing lagi bagi kita, khususnya bagi para shopingholic (orang yang gemar berbelanja) atau bagi kita yang sering mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan atau mal. Hampir setiap kita membeli barang-barang kebutuhan kita, entah itu kebutuhan primer, sekunder, ataupun tersier, kita sering dihadapkan dengan sebuah benda/ alat yang disebut sebagai kemasan. Bisa dikatakan sebuah kemasan merupakan benda yang pertama kali dilihat kita (konsumen) sebelum isi (produk) yang dibeli. Karena posisinya yang “menjadi yang pertama” tersebut, tak ayal membuat bentuk atau desain sebuah kemasan sering dibuat semenarik mungkin dengan berbagai gaya, warna, dan ukuran.

Ketika pada saat ini pusat-pusat perbelanjaan atau mal semakin sering kita jumpai dan berbelanja (shoping), seperti yang disebutkan oleh peneliti John Storey, telah menjadi sebuah budaya populer di masyarakat, tampaknya akan memberikan imbas pada dunia kemasan. Banyaknya mal dan pusat-pusat perbelanjaan tentu saja akan diikuti dengan semakin beragamnya produk-produk yang beredar. Beragamnya produk-produk yang beredar tentu akan diikuti pula dengan semakin beragamnya kemasan dari produk-produk tersebut. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa dunia kemasan akan semakin berkembang, baik dari segi gaya desain ataupun bahannya, mengikuti perkembangan dari dunia mal atau supermarket (pasar).

Tetapi dibalik semakin gegap-gempitanya dunia mal dan supermarket, ternyata terjadi sebuah fenomena yang cukup ironis dan menarik. Munculnya shoping menjadi sebuah budaya populer di masyarakat ternyata tidak selalu menbawa dampak yang menguntungkan bagi pihak pemilik modal atau pihak penjual produk (pemilik toko). John Fiske, seperti yang dikutip John Storey dalam bukunya Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, membeberkan penelitiannya di sebuah mal di Australia yang menyebutkan bahwa untuk setiap 30 orang yang mengunjungi sebuah toko, hanya satu orang yang melakukan transaksi pembayaran (Storey, 2008). Dengan adanya kejadian tersebut, bagaimanakah peran dari desain kemasan? Apa yang harus dilakukan desain kemasan dengan munculnya fenomena tersebut?

Sekilas tentang Desain Kemasan
Desain kemasan adalah bisnis kreatif yang mengkaitkan bentuk, struktur, material, warna, citra, tipografi, dan elemen-elemen desain dengan informasi produk agar produk dapat dipasarkan (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Sedangkan Crhistine Suharto Cenadi, dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra, mendefinisikan desain kemasan sebagai seluruh kegiatan merancang dan memproduksi wadah atau bungkus atau kemasan suatu produk (www.petra.ac.id). Dengan beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan yang lebih sedehana perihal pengertian desain kemasan, yaitu bahwa desain kemasan adalah sebuah kegiatan merancang serta membuat pembungkus (packaging) sebuah produk dengan memperhatikan aspek kreatif dan informasi produk, sehingga produk tersebut dapat dipasarkan.

Sejarah kemasan sendiri sudah dimulai sejak jaman manusia purba dimana pada saat itu mereka (para manusia purba) menggunakan kulit binatang untuk mengumpulkan buah-buahan dan bahan makanan lainnya (Cenadi, 2000). Semakin majunya peradaban membuat kemasan semakin berkembang, dari yang dahulu hanya menggunakan kulit binatang, mulai dibuat kemasan dengan menggunakan anyaman rumput, kulit pohon, daun, hingga kerajinan tanah liat.

Memasuki abad ke-8 bangsa-bangsa di dunia mulai melakukan perdagangan lintas benua. Perdagangan tersebut tak ayal membuat kebutuhan yang mendesak bagi kapal-kapal dan angkutan lainnya untuk membawa barang dagangan, yang kebanyakan pada saat itu berupa rempah-rempah. Akhirnya pada jaman tersebut munculah teknologi pembuatan botol, toples, dan tempayan (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Di daerah Cina yang terkenal dengan Jalur Sutranya juga berkembang kemasan dengan bahan keramik. Tetapi pada saat itu hingga berabad-abad sesudahnya, fungsi dari kemasan masih hanya sebatas untuk melindungi barang dan mempermudah barang ketika dibawa.

Seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, dunia kemasan pun ikut berkembang. Hal tersebut dimulai ketika terjadi revolusi industri yang diawali dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Perubahan proses produksi dari tenaga manusia ke tenaga mesin membuat proses pembuatan barang-barang produksi semakin mudah, dan waktu yang dibutuhkan dalam proses produksi relatif semakin singkat. Barang-barang hasil produksi pun semakin banyak dihasilkan dan jenisnya semakin beragam. Hasil produksi yang semakin meningkat tersebut diikuti pula dengan meningkatnya kebutuhan akan kemasan sebagai pembungkusnya. Hingga akhirnya pada sekitar tahun 1950an dimana mulai munculnya banyak supermarket, mal dan pasar swalayan, yang notabene proses jual-beli di dalamnya dilakukan secara swalayan, membuat kemasan mau tidak mau selain sebagai pembungkus juga harus mampu “menjual” produknya sendiri. Hermawan Kartajaya, seorang pakar dibidang pemasaran, seperti dikutip Crhistine Suharto Cenadi, mengatakan bahwa teknologi telah membuat packaging berubah fungsi, dulu orang bilang “Packaging protects what it sells (kemasan melindungi apa yang dijual)”. Sekarang, “Packaging sells what it protects (kemasan menjual apa yang dilindungi)” (Cenadi, 2000). Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa fungsi kemasan menjadi semakin kompleks. Mulai dari fungsi untuk melindungi produk dan untuk mempermudah saat membawa, hingga sebagai pemberi informasi, penarik perhatian, pemberitahu keistimewaan produk, sampai penjual produknya sendiri.

Jika dilihat dari segi desainnya, perkembangan desain kemasan bisa dikatakan terpengaruh oleh perkembangan teknologi pada jamannya, selain tentu saja terpengaruh oleh fungsinya yang semakin kompleks. Mulai dari ditemukannya teknologi kertas, hingga tube aluminium dan laminasi foil, membuat desain kemasan ikut berkembang dengan pesat baik dari segi bahan maupun bentuknya. Selain itu kemajuan tipografi pada tahun 1960an ikut mendukung kebutuhan desain kemasan sebagai sarana komunikasi visual suatu kepribadian produk secara langsung (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Penguasaan tipografi pada saat itu memang mulai berkembang menjadi bentuk seni yang bernilai tinggi. Desain kemasan pun sering dijadikan obyek pembuatan seni kontemporer pada saat itu, misalnya pada karya fenomenal Andy Warhol yang menggunakan obyek repetisi kaleng Campbell’s Soup.

Majunya perekonomian dunia dan semakin canggihnya teknologi, meyebabkan barang-barang semakin cepat dan mudah dihasilkan. Produksi mulai melebihi permintaan konsumen, dan persaingan dalam pasar pun semakin meningkat. Produk-produk baru yang memasuki pasar menggeser produk-produk lama yang tidak sukses. Konsumen semakin selektif saat berbelanja dan semakin sering merasa tidak puas. Perlindungan kepada konsumen akhirnya mulai muncul dengan adanya peraturan mengenai desain kemasan. Misalnya mengenai penipuan terhadap konsumen melalui deskripsi produk yang tertera dalam kemasan, pengurangan berat yang menyebabakan diharuskannya pencantuman berat netto di kemasan produk, hingga label harga yang lebih murah daripada harga aslinya. Para produsen pun mulai mencantumkan layanan bebas pulsa dalam setiap kemasan produk yang dijualnya, dengan tujuan untuk menungkatkan kepercayaan konsumennya.

Ketika peredaran produk kebutuhan manusia sudah merajalela di pasar, mulai muncul paradigma di masyarakat yang menganggap produk-produk suatu jenis kebutuhan sama saja antara produk yang satu dengan produk yang lain. Dengan kata lain masyarakat sebagai konsumen menganggap semua produk tidak ada bedanya. Apalagi dengan sifat pasar swalayan yang mengelompokkan produk-produk sejenis dalam satu susunan rak, membuat kesan seragam dari produk yang dipasarkan semakin kentara. Hal tersebut membuat para produsen mulai mencari cara untuk membedakan produk mereka dengan para pesaingnya. Yang pertama dilakukan oleh para produsen adalah dengan menetapkan merek produk. Merek adalah sebuah nama, sebuah tanda khas kepemilikan dan representasi produk, jasa, orang, dan tempat. Ini meliputi semua mulai dari material tercetak, nama produk, desain kemasan, desain iklan, papan reklame, seragam, bahkan arsitektur (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Dengan kata lain merek bukan hanya sekedar sebuah nama produk, tetapi segala sesuatu yang berkaitan dan menjadi ciri dari produk tersebut. Perkembangan selanjutnya adalah mulai digunakannya material yang baru dalam desain kemasan, misalnya dengan mulai diperhatikannya “aspek tekstur” kemasan, hingga pengembangan bentuk kontur dan kemasan multi kurva (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Dalam periode persaingan ketat seperti ini, desain kemasan menjadi sebuah faktor yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan atau kesuksesan sebuah produk di pasaran.

Konsumsi, Konsumen, hingga Konsumerisme
Setiap manusia pasti memiliki kebutuhan dalam rangka melangsungkan kehidupannya sehari-hari. Kebutuhan hidup manusia tersebut akan tercukupi dengan adanya interaksi antara manusia dengan alam. Dari situlah muncul gagasan dasar tentang teori konsumsi yaitu “mengumpulkan dari alam”. Manusia sebagai konsumen mengambil dari alam, dan alam menyediakan untuk manusia (Soedjatmiko, 2008). Tetapi ternyata lama kelamaan kebutuhan manusia semakin meningkat dan beragam jenisnya. Manusia lalu mulai menciptakan alat-alat pembantu untuk mencukupi kebutuhannya yang semakin beragam tersebut. Dari situlah muncul pertama kali istilah “masyarakat produksi”, yaitu masyarakat yang menciptakan alat guna membantu dalam kegiatannya memanfaatkan hasil alam. Mengikuti perkembangan jaman yang semakin maju, alat-alat yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pun semakin lengkap dan canggih. Dari mulai alat yang digerakkan dengan tenaga manusia atau hewan, hingga alat yang mulai digerakkan dengan tenaga mesin. Hal tersebut tidak lepas dari adanya Revolusi Industri yang mulai memperkenalkan mesin dalam sistem produksi. Produksi mulai menjadi kegiatan pokok manusia sehingga produksi seperti mendapat tempat yang utama dalam kehidupan manusia.

Setelah memasuki era moderen dimana populasi penduduk semakin meningkat dan teknologi semakin canggih, proses produksi mulai mengalami peningkatan yang pesat. Pabrik-pabrik dan buruh mulai bermunculan seiring dengan sistem ekonomi kapitalis yang mulai merebak. Dari sinilah istilah “hidup untuk produksi” berubah menjadi “hidup untuk konsumsi”. Hal ini karena masyarakat (buruh) tidak lagi berproduksi/ membuat barang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya melainkan untuk tujuan lain, yaitu mendapatkan upah.. John Storey berpendapat bahwa di dalam masyarakat kapitalis, para buruh membuat barang-barang demi mendapatkan upah. Lalu barang-barang yang dihasilkan tersebut dijual di pasar, dan para buruh harus membeli dengan upah mereka barang kebutuhan yang sebenarnya mereka buat sendiri (Storey, 2008). Karl Marx menggunakan istilah komoditas untuk menyebutkan barang-barang hasil produksi tersebut. Lebih jauh lagi Karl Marx, seperti yang dikutip Soedjatmiko, berpendapat bahwa komoditas merupakan produk yang tidak dihasilkan untuk konsumsi individu secara langsung, melainkan terlebih pada penjualan di pasar. Komoditas lebih bermakna sebagai nilai tukar daripada nilai guna (Soedjatmiko, 2008). Sedangkan Jean Boudrillard dalam bukunya Masyarakat Konsumsi berpendapat bahwa sistem produksi menciptakan sistem kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan manusia sengaja dibuat untuk menciptakan “kekuatan konsumptif” (Boudrillard, 2006). Hal tersebutlah yang menurut John Storey menyebabkan munculnya istilah “masyarakat konsumen”, sebuah masyarakat yang mau tak mau harus membeli untuk menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Memasuki sekitar tahuin 1980an diskursus tentang konsumsi mulai mendapat perhatian dari para peneliti, termasuk Pierre Bourdieu. Menurutnya, konsumsi tidak hanya diartikan sebagai konsumsi produk-produk hasil industri, melainkan juga tanda, simbol, ide, dan nilai yang mejadi interaksi antara individu dan masyarakat serta menjadi penentu demarkasi kelas sosial. Maka disini kelas yang dominan akan menunjukkan superioritasnya melalui akses kepada budaya dan konsumsi yang tinggi (Soedjatmiko, 2008). Dengan kata lain konsumsi lebih merujuk pada nilai tanda daripada nilai guna. Boudrillard juga berpendapat bahwa konsumsi produk tidak lagi mengarah pada fungsi kebutuhan melainkan terlebih pada yang disebut logika hasrat (a logic of desire) (Soedjatmiko, 2008). Masyarakat pun pada akhirnya berlomba-lomba untuk melakukan tindak konsumsi, demi melampiaskan hasrat membelinya serta meningkatkan prestise dan strata sosialnya, yang kemudian menyebabkan munculnya istilah konsumerisme.

Secara sederhana konsumerisme dapat diartikan sebagai gaya hidup mengkonsumsi. Jika konsumsi diartikan sebagai sebuah tindakan, maka konsumerisme adalah sebuah cara hidup. Pengertian tersebut sering disalahtafsirkan bahwa konsumerisme identik dengan hedonisme, pemborosan, dan pengahambur-hamburan uang. Jean Boudlirrard menjelaskan bahwa konsumerisme merupakan dampak sosial konsumsi sebagai gejala, bukan sebuah kondisi yang berlebih (Boudrillard, 2006). Dengan kata lain konsumerisme merupakan gejala yang merebak dalam suatu masyarakat pada suatu masa, dan bukan sebagai tindak konsumsi yang terlalu berlebihan dari masyarakat. Tetapi terlepas dari itu, konsumerisme sebagai gaya hidup konsumsi tetap saja menciptakan sebuah gaya hidup belanja (shoping) dalam masyarakat. Apalagi didukung dengan semakin merebaknya mal dan pusat-pusat perbelanjaan, membuat shoping menjadi sebuah gaya hidup yang populer di masyarakat.


Shoping sebagai Budaya Populer
Dari uraian di atas telah dijelaskan bahwa konsumerisme membentuk fenomena berbelanja (shoping) menjadi sebuah budaya populer di masyarakat. Berbelanja disini sendiri diartikan sebagai kegiatan mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan, mal, supermarket, ataupun pasar swalayan. Di era globalisasi seperti ini pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan memang semakin pesat, khususnya di kota-kota besar. Modal kapitalis yang mengalir mencapai triliunan rupiah. Orang-orang semakin dimanjakan dengan bangunan gedung yang tinggi, memiliki beberapa lantai dan suasana ruangan yang sejuk. Apalagi fasilitas-fasilitas yang lengkap seperti tempat bermain anak, hotspot, hingga bioskop, membuat masyarakat merasa lebih tinggi derajatnya jika berbelanja di mal. Dunia megah mal memang memberikan citra kelas sosial yang tinggi. Dengan adanya jaminan gengsi, masyarakat semakin antusias untuk menghabiskan waktu di mal ataupun pusat-pusat perbelanjaan lainnya. John Fiske bahkan menganggap pusat-pusat perbelanjaan sebagai “katedral-katedral” konsumsi (Storey, 2008). Hal tersebut semakin menguatkan paradigma yang mengatakan bahwa konsumsi lebih dari sekedar aktifitas ekonomi semata (mengkonsumsi kebutuhan material), melainkan konsumsi juga berhubungan dengan mimpi, hasrat, dan identitas. Storey juga menambahkan bahwa berbelanja telah menjadi aktifitas pengisi waktu luang yang paling populer selain menonton televisi (Storey, 2008).

Shoping ≠ Membeli
Yang menarik adalah ketika shoping telah menjadi sebuah fenomena budaya populer, muncul beberapa pendapat peneliti yang menyatakan bahwa berbelanja (shoping) ternyata tidak identik dengan membeli (konsumsi). Meaghan Morris, seperti yang dikutip oleh Storey, mengatakan bahwa pusat perbelanjaan digunakan oleh kelompok-kelompok berbeda secara berbeda pula. Orang mungkin berbelanja di suatu pusat perbelanjaan dan pergi ke tempat perbelanjaan lainnya hanya untuk bersosialisasi atau berkeliling-keliling (Storey, 2008). Selain itu John Storey juga berpendapat bahwa berbelanja bukanlah ritual penundukan pasif terhadap kekuasaan konsumerisme (Storey, 2008). Sangat ironis memang jika ternyata munculnya belanja sebagai budaya populer membawa dampak antiklimaks terhadap hegemoni kapitalisme. Bill Pressdee, seperti yang dikutip oleh Storey, telah melakukan penelitian di Australia Selatan yang menyatakan bahwa beberapa orang yang berkumpul di pusat-pusat perbelanjaan lokal ternyata tidak untuk membeli apa yang sedang dijual melainkan untuk menggunakan ruang publik mal. Presdee menggunakan istilah “belanja proletarian” untuk melukiskan kenyataan ini (Storey, 2008). Michael Schudson juga menyatakan bahwa sekitar 90 persen produk baru di mal gagal menarik minat konsumen di Amerika Serikat. John Sinclair dan Simon Frith juga melakukan penelitian yang hasil akhirnya cenderung menegaskan bahwa kekuasaan diskrimasi konsumen tidak ekuivalen dengan apa yang ditawarkan (Storey, 2008).

Fenomena tersebut tampaknya juga terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia, khususnya kaum muda, telah menjadikan mal atau pusat-pusat perbelanjaan sebagai tempat untuk berkumpul dan jalan-jalan (kaum muda mengistilahkan hang out). Ketika pulang sekolah atau liburan, para kaum muda Indonesia sering menghabiskan waktunya di mal atau pusat-pusat perbelanjaan, dan kebanyakan dari mereka hanya untuk menghabiskan waktu luang, lihat-lihat, dan kumpul-kumpul. Hal tersebut juga yang mungkin semakin menegaskan bahwa kaum muda memang identik dengan budaya subkultur. Tetapi selain kaum muda, para orang tua juga sering mendatangi mal atau pusat perbelanjaan tidak untuk membeli barang, melainkan hanya untuk melakukan pertemuan dengan orang lain atau sekedar mengajak anaknya jalan-jalan. Bahkan mal sering digunakan beberapa orang hanya sekedar untuk berteduh ketika hujan, atau ngadem ketika kepanasan.

Jika kenyataanya demikian, berarti dapat disimpulkan bahwa munculnya shoping (belanja) sebagai budaya populer ternyata tidak selalu membawa berkah atau dampak yang menguntungkan bagi pihak pemilik modal, dalam hal ini penjual produk atau pemilik toko. Banyaknya orang yang mengunjungi mal ternyata tidak menjamin barang-barang yang dijual akan laku keras. Bahkan seperti yang telah dikatakan di awal, John Fiske sempat melakukan penelitian di sebuah mal di Australia yang menyebutkan bahwa untuk setiap 30 orang yang mengunjungi sebuah toko, hanya satu orang yang melakukan transaksi pembayaran (Storey, 2008). Di Indonesia pun sepertinya kondisinya tidak jauh berbeda. Mal sepertinya telah mengalami disfungsi dari tempat jual-beli barang/ produk menjadi tempat untuk menghabiskan waktu luang atau jalan-jalan. Hal ini tentu saja membuat para produsen harus berpikir lebih keras agar dapat menjual produk dagangannya kepada konsumen. Apalagi sifat pusat perbelanjaan moderen, seperti mal atau pasar swalayan, yang proses jual-belinya dilakukan secara swalayan oleh konsumen, semakin menyulitkan pihak produsen dalam melakukan tindakan persuatif secara langsung kepada calon pembeli. Di saat seperti inilah peran desain kemasan dibutuhkan.

Desain Kemasan sebagai Juru Selamat
Jika ditarik secara horisontal, pada dasarnya desain kemasan mempunyai fungsi yang selalu berkembang. Awalnya pada jaman manusia purba, desain kemasan sekedar berfungsi untuk mewadahi bauh-buahan dan bahan makanan lainnya. Kemudian ketika manusia mulai menjelajahi dunia, fungsi kemasan berkembang menjadi fungsi untuk membungkus, melindungi hingga mempermudah saat membawa barang. Hingga saat memasuki era moderen dimana produk yang dihasilkan semakin banyak dan beragam, kemasan diharuskan mampu menjadi penarik perhatian serta penjual dari sebuah produk.

Ketika saat ini terjadi fenomena menyimpangnya fungsi mal, pasar swalayan, dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya, dimana masyarakat mengunjungi tempat-tempat tersebut tidak selalu untuk membeli barang, fungsi desain kemasan tampaknya mulai bertambah lagi. Desain kemasan sekarang tidak hanya berfungsi untuk membungkus, melindungi, sampai menjual produk, melainkan juga harus mampu menawarkan produknya sendiri. Fungsi menawarkan disini cenderung lebih luas dan kompleks dari hanya sekedar menjual. Jika menjual hanya menjual (contohnya rumah atau mobil yang ditempeli tulisan “dijual”), maka menawarkan adalah menjual dengan berbagai usaha persuatif dan deskriptif (salesman). Usaha persuatif tentu saja mempunyai tujuan untuk merayu, mengajak, serta membujuk, dalam hal ini untuk membeli sebuah barang/ produk. Sedangkan fungsi deskriptif adalah fungsi dimana kemasan harus mampu menjelaskan, menjabarkan, serta memberitahukan tentang deskripsi produknya kepada konsumen. Hal ini mengingat pada pasar yang sifatnya swalayan konsumen tidak lagi bergantung pada seorang pramuniaga untuk mengetahui informasi dari sebuah produk, melainkan dari kemasan produk tersebut. Kemasan telah menjadi “pramuniaga hening (the silent salesman)” (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Jika saat ini terjadi keadaan dimana orang datang ke mal, pasar swalayan, ataupun pusat-pusat perbelanjaan hanya untuk jalan-jalan, kemasan harus mampu “menyihir” orang-orang tersebut agar membeli. Dengan kata lain orang yang tadinya mempunyai niat hanya untuk jalan-jalan di pusat perbelanjaan, harus bisa berubah pikiran ketika telah bertemu kemasan. Orang tersebut harus “dibujuk dan dirayu” untuk membeli sebuah barang, entah itu secara sadar ataupun tidak. Fungsi “membujuk dan merayu” itulah yang menjadi tugas baru desain kemasan. Kemasan harus dapat melakukan “serangan balik” terhadap fenomena populer yang sedang terjadi di masyarakat.

Jika fungsi kemasan sebagai “pramuniaga hening” bisa dikatakan sebagai fungsi jangka pendek, kemasan juga diharapkan mampu mempunyai fungsi jangka panjang yaitu membentuk dan/ atau mempertahankan sebuah kefanatikkan pada para konsumennya. Fungsi fanatik ini sangat identik dengan penggemar. Menurut Joil Jenson, seperti yang dikutip John Storey, penggemar selalu dicirikan (mengacu pada asal-usul istilahnya) sebagai suatu kefanatikan yang potensial. Hal ini berarti bahwa kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan (Storey, 2008). Sebuah desain kemasan harus mampu membuat para konsumen menjadi penggemar dan pembeli setia dari produknya. Fungsi fanatik ini memang tidak bisa berdiri sendiri, dalam arti hanya ditanggung oleh desain kemasan saja, tetapi juga dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain, misalnya kualitas produk dan merek. Dan jika sebuah produk sudah mempunyai penggemar setia tersendiri, maka desain kemasan harus ikut mempertahankan atau bahkan menambah jumlah penggemar tersebut.

Seperti dikatakan di atas, fungsi fanatik ini juga sangat berkaitan dengan merek produk. Merek inilah yang menyebabkan seorang desainer kemasan harus mengetahui sejarah panjang tentang suatu produk, sebelum membuat kemasannya. Desainer kemasan tidak hanya perlu mengetahui pengetahuan mengenai ilmu komunikasi visual saja, melainkan juga dalam hal sosiologi, psikologi, hingga pemasaran dan ekonomi. Fitur-fitur khas dalam kemasan juga harus selalu ditonjolkan serta dipertahankan, entah itu gaya tipografi, pencitraan grafis, warna, ataupun bahan. Kalaupun diperlukan suatu perubahan harus sudah diperhitungkan secara matang dan rinci, karena hal ini menyangkut ekuitas merek. Dengan adanya fungsi fanatik tersebut, sebuah produk tidak perlu khawatir lagi tentang omset penjualannya. Sebuah produk yang telah mempunyai penggemar fanatik juga tidak perlu merisaukan lagi budaya subkultur yang terjadi di pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini mengingat kefanatikan (pada suatu produk) akan membuat seseorang melakukan apa saja demi mendapatkan produk yang disukainnya tersebut. Fungsi fanatik ini juga akan mampu mempertahankan eksistensi produk jika fenomena baru terjadi dalam dunia konsumsi di masyarakat, yaitu fenomena ketika orang berbelanja tidak lagi dengan mendatangi toko, pusat perbelanjaan, pasar swalayan, atau mal, melainkan dengan memanfaatkan teknologi internet.[]

No comments:

Post a Comment