"Tentang benda-benda yang engkau punya dan engkau banggakan. Tentang gaya hidup yang kau kenakan dan bahkan kini kau tuhankan. Tentang kekinian yang selalu saja engkau bicarakan. Tentang status dan posisi tawarmu di penglihatan orang-orang. Tentang nama besar yang engkau sandang dan engkau busungkan. Tentang seberapa pintar dan cemerlangmu di penglihatan orang-orang. Tentang satu, dua, tiga peperangan yang pernah kau menangkan. Kalimat menjatuhkan yang jadi sering engkau ucapkan, kau hujamkan. Jangan harap itu bisa mengesankanku dan menjatuhkanku..." (Jenny-120)

Friday, June 5, 2009

Tato SebagaiI Gaya Hidup Kaum Urban


Kata urban sering diidentikkan dengan pendatang, khususnya pendatang dari desa ke kota, yang kemudian terkenal dengan istilah urbanisasi. Menurut psikiater FK UI-RSCM, dr Suryo Dharmono, SpKJ (K), budaya urban adalah budaya transisional, yaitu budaya yang berkembang terburu-buru dan sifatnya labil sehingga menyebabkan tidak adanya pegangan. Kedatangan seseorang dari desa ke kota dapat menimbulkan terjadinya benturan antara berbagai budaya, khususnya budaya desa dengan budaya metropolis, yang biasanya menyebabkan seorang pendatang merasa tidak dalam safe-area. Anthropolog Universitas Indonesia, Dr Yasmin Zaki Shahab MA, melihat gejala itu sebagai dampak dari globalisasi .
Miming Ismail dalam Harian Kompas menjelaskan bahwa sejak formasi-formasi sosial, ekonomi, dan budaya kontemporer berubah secara radikal, ditandai dengan meriahnya anasir modernitas, seketika formulasi kehidupan manusia pun berubah dengan ragam ekspresi dan penghayatan di kesehariannya. Peralihan kultural itu bahkan tidak hanya menunjukkan suatu peralihan dari masyarakat tradisional ke modern, tetapi juga kini memasuki tahapan masyarakat pos-sekuler (post-secular society). Takdir historis-dialektis ini terus-menerus bergulir melabrak garis batas tradisi dan habitus yang sebelumnya menjadi modus otentik manusia. Garis batas itu tampak melebur ketika tahap kehidupan masyarakat modern memasuki momen kreasi dirinya dalam kultur masyarakat urban .
Sumber lain menyebutkan bahwa budaya urban adalah budaya yang muncul dari hasil persilangan lintas kultur, bahasa, dan teknologi yang dibawa oleh arus modernisasi, yang mengakibatkan tergesernya budaya lama. Jika hal tersebut terus berlangsung maka budaya lama akan semakin terkikis bahkan hilang .

Masyarakat Urban

Masyarakat urban sendiri diidentikkan dengan masyarakat pendatang yang tinggal atau mengadu nasib di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan kota-kota besar lainnya. Masyarkat urban juga sering diartikan sebagai masyarakat desa yang pindah ke kota dimana gaya hidup dan pola pikirnya terpengaruh atau mencoba disesuaikan dengan kehidupan perkotaan. Di sisi lain masyarakat urban diartikan sebagai masyarakat yang majemuk, dimana ada beragam etnis dan golongan yang tinggal bersama di lingkungan yang permanen. Bukan hanya integrasi sosial, integrasi kebudayaan juga terjadi dalam masyarakat urban. Selain memegang tradisi leluhur, mereka juga menerima tradisi luar lewat proses akulturasi .

Gaya Hidup Urban

Gaya hidup urban sangat berkaitan dengan peleburan identitas. Peleburan identitas dalam gaya hidup urban bahkan dianggap sebagai pencitraan-pencitraan diri yang melampaui kehendak, bahkan rasionalitas dirinya. Hal tersebut menyebabkan tampilan wajah masyarakat urban pun bergeliat dalam kemeriahan lanskap kota dan perilaku masyarakat pesolek, di tengah keriuhan dan keterasingan dirinya dari realitas primordial.
Normalitas dan keteraturan sosial di dalam kultur urban sekaligus menunjukkan tingkat abnormalitas. Dalam perwajahannya yang elok nan seksi, tubuh-tubuh manusia moderen seolah tengah mengalami proses aktualisasi diri meski selalu muncul ironi di dalamnya. Di suatu massa ribuan, bahkan jutaan manusia, tampil sebagai individu yang seakan ingin tampil otentik, tetapi dalam keotentikannya sekaligus muncul abnormalitas dalam modus eksistensinya. Penyimpangan-penyimpangan itu tampak secara vulgar dalam bentuk budaya narsisme, hedonisme, dan konsumerisme, sehingga dalam batas tertentu keteraturan dan normalitas dunia kehidupan modern pun melahirkan schizophrenia budaya sebagaimana tampil dalam bentuk kapitalisme.
Tak ada lagi batasan teritori, bahasa, dan etnisitas dalam kultur urban. Semuanya melebur dalam gairah perayaan sekaligus pengorbanan yang lahir dari efek globalisasi. Manusia-manusia urban kini tampil sebagai ikon yang seolah telah meninggalkan batas tradisi dan bahasa serta perubahan modus produksi dan aktualisasi di dalamnya sehingga etalase kota pun diriuhkan oleh heterogenitas budaya . Dunia industri, iptek, dan informasi adalah realitas hidup sehari-hari yang terus gencar mengubah atau juga membentuk watak, pola hidup, gaya dan juga selera, dimana cenderung turut mengubah mentalitas masyarakat urban menjadi impulsif, labil, cepat marah, kurang sabar, kecemburuan yang tinggi, konsumtif, banyak menuntut, kasar dan buas, mudah tersinggung serta suka menekan .

Pergeseran Fungsi dan Peranan Tato Dalam Budaya Urban

Memasuki era posmoderen yang cenderung di dalamnya penuh dengan pemberontakan dan perlawanan pada pakem yang ada, tato banyak mengalami pergeseran dalam hal fungsi dan pemaknaan. Jika kita lihat dari awal dimana tato belum menjadi sebuah budaya global seperti sekarang ini, tato merupakan sebuah tradisi dari suatu peradaban. Pada jaman tersebut tato dijadikan sebagai ritual religius, simbol status, ataupun tradisi turun temurun yang cukup penting dan mengikat pada suatu suku.
Setelah melewati perkembangan jaman dan perubahan konstruksi kebudayaan, makna tato sempat mengalami stigma negatif. Mulai dari terbentuknya kelompok pemberontak Yakuza di Jepang hingga munculnya fenomena Petrus di Indonesia, sempat membuat perkembangan tato, khususnya di Indonesia, mandeg. Pada saat itu tato dianggap sebagai sebuah simbol kejahatan. Orang yang memakai tato diidentikkan dengan preman, penjahat, pengacau ketentraman masyarakat, dan dianggap membangkang terhadap norma-norma yang ada. Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat "pengesahan" ketika pada tahun 1980-an terjadi penembakan misterius terhadap ribuan gali (penjahat kambuhan) di berbagai kota di Indonesia. Mantan Presiden Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (PT. Citra Lamtorogung Persada, Jakarta, 1989), mengatakan bahwa petrus (penembakan misterius) itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang jahat yang suka mengganggu ketentraman masyarakat.
Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, tato menyandang predikat baru yaitu dianggap sebagai suatu gaya hidup yang modis, trendi, dan fashionable.

Tato Sebagai Gaya Hidup Masyarakat Urban

Pada kehidupan masyarkat urban, tato menempati kedudukan khusus dan menjadi pilihan dalam gaya hidup. Tato dijadikan pelengkap dalam fashion dan disejajarkan dengan aksesoris-aksesoris pelengkap fashion lainnya. Tidak hanya tato permanen, tato temporari pun sekarang menjadi sebuah tren dalam berpenampilan. Fenomena ini diakui Yunita P. Sakul, Psi., sebagai salah satu dampak globalisasi . Tren tato ini tidak lepas dari andil media massa yang tanpa malu-malu menampilkan artis-artis dengan tato di tubuhnya. Masyarakat urban yang notabene berusaha beradaptasi dengan kehidupan metropolis juga tanpa sungkan-sungkan memplagiat style idolanya. Idola dalam hal ini menjadi sumber inspirasi dan referensi untuk menemukan jati diri para kaum urban. Proses tahapan pengaruh idola terhadap pengikut atau pengadopsi melewati bererapa tahapan, yakni: interest stage (terpesona atau tertarik model penampilan seseorang), kemudian evaluation stage (mengevaluasi perlu atau tidaknya melakukan peniruan), trial stage (mencoba menirukan bagian yang menarik hatinya), dan yang terakhir adalah adoption stage (mengambil keputusan, menirun sang idola) .
Tato yang saat ini menjadi budaya popular juga tidak mengenal usia dan jenis kelamin dalam melebarkan pengaruhnya. Tidak hanya anak muda, ibu rumah tangga pun sekarang sedang dilanda “demam” tato, khususnya tato temporari . Sejak dikenalkannya tato temporer yang didesain secara modern, membuat banyak peminat tato lebih berani mengekspresikan dirinya dengan lukisan badan khas bangsa Mesir zaman dulu. Bahkan kaum wanita saat ini tak sungkan-sungkan mentato badannya dengan berbagai motif hingga membatik seluruh badan dengan tinta berwarna-warni.
Selain karena tren, pesatnya perkembangan tato juga diduga karena adanya unsur estetika dalam tato itu sendiri. Semua orang, termasuk masyarkat urban, tentu menyukai keindahan. Dengan bertato, seseorang ingin memamerkan unsur keindahan yang dimiliki kepada orang yang melihatnya. Seseorang akan merasa bangga jika orang melihat, atau bahkan memuji tatonya. Selain itu tato juga menjadi alat ekspresi diri. Seseorang yang sedang jatuh cinta misalnya, ia tidak akan sungkan untuk merajah kulitnya dengan inisial nama kekasihnya.
Fungsi sosial tato dalam masyarakat urban pun berbeda dengan fungsi sosial tato pada masyarakat tradisional (suku). Dalam masyarakat tradisional tato memiliki fungsi religius dan politis. Sedangkan dalam masyarakat urban yang menganut budaya popular, tato hanya berfungsi untuk kesenangan dan lebih cenderung ke art. Makna tato memang tidak selalu sama, tergantung dari intrepetasi masing-masing pihak, baik pemakai tato itu sendiri, maupun masyarakat pada umumnya.

2 comments: