"Tentang benda-benda yang engkau punya dan engkau banggakan. Tentang gaya hidup yang kau kenakan dan bahkan kini kau tuhankan. Tentang kekinian yang selalu saja engkau bicarakan. Tentang status dan posisi tawarmu di penglihatan orang-orang. Tentang nama besar yang engkau sandang dan engkau busungkan. Tentang seberapa pintar dan cemerlangmu di penglihatan orang-orang. Tentang satu, dua, tiga peperangan yang pernah kau menangkan. Kalimat menjatuhkan yang jadi sering engkau ucapkan, kau hujamkan. Jangan harap itu bisa mengesankanku dan menjatuhkanku..." (Jenny-120)

Sunday, June 7, 2009

Sosialisme Post-Reformasi


Sosialisme, kata ini sekarang mulai kembali sering disebut-sebut seiring maraknya isu neoliberalisme menjelang pemilihan presiden tahun 2009. Isu neoliberalisme sendiri mulai muncul ke permukaan ketika salah satu kandidat presiden incumbent dan sering dikatakan mendapatkan polling tertinggi dari kandidat lainnya, menunjuk seorang yang dianggap bermazhab liberal sebagai calon wakil presiden yang akan mendampinginya pada pemilihan presiden bulan Juli tahun 2009. Protes dan keberatan pun mulai muncul dari berbagai kalangan masyarakat dengan ditandai banyaknya aksi menolak dieksistensikannya paham liberalisme. Mulai dari aksi demo mahasiswa, pembuatan spanduk anti-liberalisme, hingga banyaknya diskusi dan debat yang berkaitan dengan dialektika liberalisme. Penolakan tersebut pada dasarnya adalah bertujuan untuk menolak calon pemimpin bangsa yang menggunakan mazhab liberalisme dalam memimpin dan mengelola negara, khususnya di bidang ekonomi dan sosial-budaya. Ekonomi liberal dianggap akan semakin mempersulit dan memperburuk hidup masyarakat Indonesia yang saat ini sudah sangat memprihatinkan. Liberalisasi di bidang pendidikan juga dianggap akan membuat pendidikan di Indonesia semakin mahal dan sulit terjangkau. Dari debat publik, diskusi dan analisis para ahli mulai sering disebutkan istilah ekonomi kerakyatan yang dianggap sebagai lawan dari ekonomi liberalisme, salah satu cabang liberalisme yang paling populer. Ekonomi kerakyatan sendiri pada dasarnya lebih cenderung mengarah ke mazhab sosialisme meskipun terkadang orang-orang enggan menyebut kata sosialisme karena masih saja dianggap identik dengan komunisme.

Ekonomi : Sosialisme vs Liberalisme
Sosialisme adalah paham yang bertujuan membentuk negara kemakmuran dengan usaha kolektif yang produktif dan membatasi milik perseorangan (e-dukasi.net). Sedangkan liberalisme, masih menurut e-dukasi.net, dapat diartikan sebagai paham kebebasan yang menghendaki adanya kebebasan individu, sebagai titik tolak dan sekaligus tolok ukur dalam interaksi sosial. Menurut Wikipedia.org, ekonomi sosialisme adalah sebuah paham yang berpijak pada konsep Karl Marx tentang penghapusan kepemilikan hak pribadi. Dengan kata lain prinsip ekonomi sosialisme menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan dalam beberapa komoditas penting dan menjadi kebutuhan masyarakat banyak seperti air, listrik, bahan pangan, dan sebagainya. Sedangkan liberalisme menurut Wikipedia.org adalah sebuah paham yang menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama serta menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, serta menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu.

Dari sini jelas terlihat adanya sisi yang saling bertolak belakang dan berlawanan dari mazhab sosialisme dan liberalisme, khususnya di bidang ekonomi. Ekonomi liberal menuntut adanya kebebasan individu yang tak terbatas dan kendali ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Negara tidak diperbolehkan melakukan monopoli dan ikut campur, apalagi melakukan kontrol dan intervensi. Itulah yang meyebabakan banyak orang mengatakan bahwa ekonomi liberalis merupakan sebuah mazhab yang dijunjung dan menjadi panutan para pelaku ekonomi yang sudah mapan (bisnisman kaya). Lalu apa peran pemerintah dalam ekonomi liberal? Dalam ekonomi liberal peran pemerintah hanyalah sebagai pengawas agar kebebasan tak terbatas setiap individu tetap dapat terpenuhi dan terlindungi. Ya, hanya sampai disitu peran pemerintah dalan sistem ekonomi liberal. Sistem ekonomi inilah yang nantinya akan bermuara pada sistem ekonomi kapitalisme.

Jika ekonomi liberalisme menuntut adanya kebebasan tak terbatas dari setiap individu untuk melakukan kegiatan ekonomi dalam suatu negara, maka berbeda dan bertolak belakang dengan ekonomi sosialisme. Sistem ekonomi sosialisme menuntut peran pemerintah dalam perekonomian sebuah negara demi tercapainya pemerataan sosial, penghapusan kemiskinan, dan kemakmuran bersama. Dalam sistem ini komoditas-komoditas perekonomian yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak seperti air, minyak, listrik, dan sebagainya dikuasai dan dikendalikan oleh negara. Dengan hal ini diharapkan kesenjangan sosial dalam masyarakat dapat teratasi dan akhirnya dapat membawa kehidupan seluruh masyarakat menuju ke arah kemakmuran. Sistem ekonomi yang cenderung ke arah sosialisme dan sering dikatakan sebagai sistem ekonomi kerakyatan inilah yang dianggap cocok dan pas jika diterapkan di Indonesia. Kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan menuntut adanya peran aktif pemerintah dalam bidang ekonomi agar kebutuhan pokok masyarakat dapat tetap terjamin dan terpenuhi. Dengan adanya peran pemerintah tersebut diharapkan tidak ada cerita adanya orang kelaparan dan kekurangan makanan serta air bersih. Jaminan dari pemerintah ini menjadi penting mengingat daya beli dan pendapatan masyarakat Indonesia yang masih rendah dan jauh dari kecukupan. Jika di Indonesia diterapkan sistem ekonomi liberal apalagi global, dipastikan kehidupan rakyat Indonesia akan semakin tercekik dan perkonomian rakyat Indonesia sedikit demi sedikit akan hancur tergerus arus globalisasi dan modal asing. Rakyat miskin yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keahlian serta modal besar akan semakin terpinggirkan. Maka benar-benar menjadi nyatalah istilah “yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin”.

Sosialisme di era pasca-reformasi
Sering orang mengatakan bahwa sebuah paham akan selalu berkembang sesuai dengan jamannya. Jika dulu komunisme sempat hampir mencapai puncaknya, kini paham tersebut semakin surut. Hanya beberapa negara saja yang masih memakai paham tersebut. Komunisme yang kini dipakai oleh Cuba pun tidak lagi identik dengan komunisme yang sempat jaya di Uni Sovyet dulu, dengan kata lain paham ini mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan jaman. Begitupun dengan paham sosialisme. Sosialisme yang muncul di Indonesia sejak jaman pergerakan dulu di era Tan Malaka, hingga jaman pasca reformasi seperti sekarang di era Fadjroel Rahman banyak mengalami perubahan dan perkembangan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pemikiran tokoh-tokoh sosialisme Indonesia seperti Tan Malaka, Sutan Syahrir, hingga Fadjroel Rahman itu berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut selain disebabkan oleh pemahaman serta pengaruh pemikiran sosialisme yang menjadi dasar pijakan tokoh-tokoh tersebut juga disebabkan oleh konteks sosialisme yang ada pada jamannya masing-masing. Sosialisme era pergerakan nasional di jaman Tan Malaka, sosialisme pasca-kemerdekaan di era Sutan Syahrir, dan sosialisme pasca-reformasi yang kembali muncul setelah sekian lama bungkam di era Fadjroel Rahman.

Pada jaman Tan Malaka dimana Indonesia belum merdeka dan masih menjadi negara jajahan, sosialisme yang didengung-dengungkan Bapak Republik Indonesia ini lebih pada penerapan sosialisme dalam ranah ideologi. Ideologi sosialisme di era ini digunakan untuk mencari keadilan bagi rakyat Indonesia yang pada saat itu banyak menjadi buruh dan pekerja dan masih dilanggar dan tidak diperhatikan haknya. Perkembangan sosialisme di era ini memunculkan istilah Massa-Actie, yaitu gerakan-gerakan oleh buruh yang menuntut keadilan dan diperhatikannya hak-hak asasi mereka. Mungkin pada saat sekarang lebih dikenal dengan istilah aksi mogok dan demonstrasi. Kehidupan buruh dan kemakmuran rakyat Indonesia dituntut untuk lebih diperhatikan pada sosialisme era ini. Aksi-aksi progressif Tan Malaka ini membuat Tan Malaka dianggap sebagai sosialis kiri dan terpengaruh paham komunisme yang sempat melejit di Uni Sovyet.

Setelah Indonesia merdeka dan memasuki tahap pembangunan dan penguatan ekonomi muncul dan menunjukkan tajinya para pemikir-pemikir sosialis Indonesia yang lain. Berbeda dengan Tan Malaka yang berpikiran sosialis radikal dan progresif, sosialisme Sutan Syahrir lebih moderat dan menggunakan jalur diplomasi. Bisa dikatakan jika Tan Malaka menganut paham sosialisme kiri, Sutan Syahrir lebih ke arah sosialisme kanan. Dengan kata lain ada unsur liberal dalam sosialisme Sutan Syahrir. Sumbangsih Sutan Syahrir yang paling besar dan mudah diingat serta menjadi bukti penerapan paham sosialis moderat adalah dirubahnya sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer, dimana Syahrir menjadi perdana menteri pertamanya Hal ini pada dasarnya digunakan dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan presiden pada saat itu. Sutan Syahrir juga memberi pengaruh dengan munculnya istilah “sosialisme kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pada jaman Sutan Syahrir ini sosialisme yang dianutnya banyak dirancukan dengan komunisme. YB Mangunwijaya bahkan berpendapat bahwa “seolah-olah sosialisme Syahrir sama sebangun dengan komunisme, sedang kapitalisme, lebih buruk lagi kapitalisme semu bahkan didewakan sebagai penjabaran Pancasila dalam ekonomi”. Manguwijaya melanjutkan bahwa sosialisme lndonesia Syahrir bukan berdasarkan marxisme, bahkan sosialismenya menentang komunisme. Dalam hal ini Syahrir berpendapat bahwa pemerintahan tidak bisa disamakan dengan kelas. Pemerintahan yang ada entah itu pemerintahan buruh atau borjuasi tidak dipermasalahkan, alias sama saja. Inilah mengapa Sutan Syahrir dianggap sebagai sosialis kanan anti-komunis yang tetap mempertahankan hak hidup kaum kapitalis. Pada jaman ini muncul juga istilah “koperasi” yang didengung-dengungkan dan dipilih Mohammad Hatta daripada ekonomi kapitalis sebagai bentuk masih adanya paham-paham sosialisme yang berpengaruh di Indonesia.

Setelah cukup terkubur dan tenggelam pada masa pemerintahan Orde Baru, pemikiran sosialisme kembali muncul di era pasca-reformasi. Pemikiran-pemikiran sosialisme dalam ranah ekonomi muncul akibat dampak dari ambruknya sistem ekonomi liberal seiring terjadinya krisis keuangan global. Perekonomian Barat yang menganut sistem liberalisme akhirnya mencapai titik anti-klimaks yang menyebabkan bursa-bursa saham hancur dan pertumbuhan ekonomi minus. Pemikir-pemikir sosialis Indonesia di era pasca-reformasi seperti Fadjroel Rahman beranggapan bahwa krisis yang terjadi akibat dari kegagalan pasar. Amerika tidak mau menandatangani internasional human right ekonomi sosial dan budaya, karena yang terpenting bagi mereka hanya sipil dan politik. Sedangkan ekonomi, sosial dan budaya diserahkan kepada mekanisme pasar. Inilah yang mendapatkan penentangan dari Fadjroel Rahman. Fadjroel lebih menekankan kebebasan sebebas-bebasnya hak manusia dalam bidang politik, tetapi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya nanti dulu. Jaminan sosial universal harus tetap ada. Semua orang harus mendapatkan hak yang sama, pendididkan yang sama, kesehatan yang sama, tanpa membedakan pembagian dari prosesnya yang paling bawah hingga kelompok target yang lebih luas. Negara harus menjamin pembagian yang adil dan merata dalam bidang ini, yaitu sosial, ekonomi, dan budaya. Sosialisme di era Fadjroel Rahman lebih terlihat mengarah ke liberalisme kiri, dimana tidak seratus persen membenarkan adanya pengaruh dan peran pemerintah dalam kehidupan berpolitik warganya, tetapi cukup dengan adanya jaminan kesamaan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Liberalisasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya akan membawa dampak yang buruk bagi kehidupan rakyat Indonesia dan kemajuan bangsa Indonesia, karena memang rakyat Indonesia belum siap menghadapi paham liberalisme ini. Sayangnya liberalisasi di bidang-bidang ini sudah mulai muncul akibat terpengaruhnya Indonesia oleh globalisasi dan pemerintahan gaya Barat.

Dalam bidang ekonomi misalnya, dalam pasal 33 UUD 1945 jelas diterangkan tentang perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Lalu diteruskan dengan perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kenapa pasal tersebut berbunyi seperti itu? Karena para “founding father” kita tahu bahwa jika cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup rakyat jatuh ke tangan penguasaan personal atau bahkan asing maka rakyat bisa tertindas. Jika tidak ada jaminan masyarakat mendapatkan kesamaan hak yang sama di bidang ekonomi, dengan kata lain hanya yang kaya yang bisa membeli, rakyat akan semakin jauh menderita dan terpuruk. Negara harus tetap mengatur dan mensubsidi kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat karena memang rakyat Indonesia masih membutuhkan subsidi tersebut. Rakyat Indonesia sampai saat ini belum siap memasuki perekonomian liberal. Jangankan rakyat Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri saja belum siap. Buktinya perusahaan pertambangan banyak yang jatuh dan dikuasai asing. Kalau misalnya liberal, kenapa tidak bisa dikuasai orang Indonesia sendiri? Ironisnya Indonesia hanya mendapatkan keuntungan dari pajaknya saja. Aneh memang, Indonesia yang kaya akan minyak dan hasil tambang lainnya harus mengikuti pasar global dalam menentukan harga minyak yang sebenarnya dihasilkan dari perut Indonesia sendiri. Kenapa harganya tidak bisa ditentukan sendiri? Inilah dampak dari liberalisme yang menyebabkan Indonesia mengalami imperialisme gaya baru. Pejajahan yang dulu dilakukan secara fisik dan penguasaan wilayah, kini cukup dengan penanaman modal asing. Over capitalism kembali menguasai perekonomian Indonesia saat ini.

Contoh lainnya adalah dalam bidang pendidikan yang saat ini mulai menjurus ke arah liberalisme-kapitalisme. Munculnya Badan Hukum Pendidikan (BHP) dianggap sebagai bukti konkrit dan titik kulminasi liberalisasi dan kapitalisasi dalam bidang pendidikan di Indonesia. Janji adanya BHP yang akan membuat pendidikan di Indonesia semakin murah dan terjangkau hanya omong kosong belaka. Institusi pendidikan yang belum siap akan adanya undang-undang ini hanya bisa mendapatkan dana operasional kampus dari para mahasiswanya. Hasilnya biaya pendidikan bertambah dengan diterapkannya sumbangan-sumbangan yang beraneka ragam. Kelas yang dibuka pun semakin banyak (ditambah dengan kelas-kelas non-reguler misalnya) demi mendapatkan dana yang semakin banyak pula. Semakin banyak mahasiswa, semakin banyak uang yang datang dan mengalir. Hasilnya proses pendidikan dan transfer of knowledge menjadi tidak efektif. Lalu dimanakah peran pemerintah yang katanya “mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin rakyat Indonesia mendapatkan pendidikan”? Bagaimana mau jadi bangsa yang bermartabat kalau rakyatnya ingin bersekolah saja masih susah. Lagi-lagi rakyat hanya bisa mengeluh.

Oleh karena itu benar adanya jika di Indonesia. masih dibutuhkan sistem sosialisme di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Negara dan pemerintah harus tetap bertanggung jawab mengatur dan mengelola bidang ekonomi dan pendidikan masyarakat. Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus tetap dikuasai negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran bangsa. Negara harus tetap bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalaupun ada BUMN yang merugi itu bukan salah sistem ekonomi sosialis-kerakyatannya, melainkan pada pengelolaan dan operasionalnya. Kalau misalnya Garuda merugi terus, bukan lantas menjual Garuda kepada perorangan atau bahkan asing, melainkan perbaiki sistem pengelolaan dan manajemen pengoperasionalannya. Kalau misalnya masih banyak rakyat Indonesia yang miskin, bukan berarti harus mengubah sistem ekonomi dari sosialis-kerakyatan menjadi liberal, tetapi perbaiki penerapan dan implementasi dari paham ekonomi sosialis-kerakyatan tersebut. Jangan mengaku penganut paham sosialis-kerakyatan tetapi dalan kenyatanaanya menjual BUMN dan menerbitkan UU BHP. Sosialisme pasca-reformasi memang tidak membenarkan adanya intervensi yang berlebihan dari pemerintah di bidang politik. Rakyat harus bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan pandangan politik mereka. Tetapi dalam bidang ekonomi sosial dan budaya, pemerintah harus tetap berperan aktif memjukan kesejahteraan umum. Sosialisme pasca-reformasi memang berbeda dengan sosialisme jaman dulu. Jika dulu sosialisme yang berkembang murni sosialisme dan condong ke arah komunis, lalu sosialisme yang menjurus liberal, kini sosialisme pasca-reformasi lebih condong ke liberal tetapi tetap memperhatikan jaminan sosial masyarakat. Boleh liberal dalam bidang politik, bahkan liberal seliberal-liberalnya, tapi nanti dulu jika ingin menerapkan paham liberalisme di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. []

Saturday, June 6, 2009

Orde Militer: Sebuah Potret Pelanggaran HAM


Pernahkah Anda merasa bangga jika memakai baju loreng? Pernahkah Anda merasa gagah jika potongan rambut Anda pendek satu centimeter? Ataukah Anda merasa aman jika tertempel stiker “Keluarga Besar TNI”, “Anggota Kopassus” atau “Anggota POLRI” pada rumah, mobil, atau sepeda motor Anda? Jika Anda pernah merasa seperti itu, atau bahkan saat ini Anda merasa seperti itu, berarti Anda telah tertular wabah “Militerholic”. Itu sebutan khusus karangan saya untuk orang-orang yang merasa berjiwa militer meskipun hanya memakai atributnya saja. Orang-orang seperti ini banyak kita jumpai beberapa puluh tahun lalu bahkan beberapa masih konsisten hingga saat ini. Sebegitu hebatkah militer hingga pantas untuk disanjung dan dielu-elukan oleh banyak orang? Mari kita tilik lebih lanjut dengan kembali ke masa lalu dimana militer mulai menunjukkan eksistensi dan kekuasaannya di Indonesia.

Militer mulai benar-benar menunjukkan tajinya di Indonesia ketika terjadi Peristiwa G 30S/ PKI yang sampai saat ini masih belum terkuak siapa dalang sebenarnya dibalik peristiwa tersebut. Tujuh jenderal dan perwira diculik oleh sekelompok orang bersenjata yang dalam film dokumenternya (masih belum teruji kebenarannya) merupakan Pasukan Cakrabirawa, sebuah pasukan pengaman presiden pada masa itu. Ketujuh jenderal dan perwira tersebut akhirnya ditemukan meninggal dan jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya. Meninggalnya para jenderal tersebut menyulut terjadinya kechaosan dalam pemerintahan dan masyarakat. Akhirnya munculah “cerita” pemberian Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) oleh Presiden RI pada saat itu, Ir. Soekarno, kepada Letjen Soeharto. Surat yang sekarang tidak diketahui rimbanya tersebut digadang-gadang berisi perintah dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto untuk mengembalikan stabilitas nasional yang saat itu sedikit goyah akibat Peristiwa G 30S/ PKI.

Turunnya surat perintah itu ternyata diartikan secara “hiperbola” oleh Letjen Soeharto. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Menteri/ Panglima Angkatan Darat (PANGAD) melakukan tindakan gegabah dengan memvonis PKI sebagai dalang dibalik pembunuhan ketujuh jenderal dan panglima itu. Akhirnya aksi menumpas PKI sampai keakar-akarnya pun digalakkan. Masyarakat yang saat itu sedang labil dengan didukung RPKAD mulai melakukan pembantaian kepada siapa saja yang dituduh PKI atau antek komunis. Tak terhitung secara pasti berapa orang yang terbunuh dari peristiwa “perang saudara” tersebut. Pihak TNI menyebutkan korban tewas sekitar 78.000 jiwa. Tetapi The Washington Post, sebuah harian surat kabar dari Amerika Serikat, menyebutkan korban meninggal mencapai 500.000 jiwa¹. Selain PKI, etnis Tionghoa yang berada di Indonesia pun ikut terkena imbasnya. Banyak dari mereka yang dituduh komunis hingga kemudian dibunuh, diperkosa, diusir, hingga dikekang keeksistensiannya. Setelah peristiwa tersebut akhirnya Orde Baru berkuasa dengan Soeharto sebagai lakon utamanya setelah diangkat menjadi Presiden RI lewat Sidang Umum MPRS. Rezim Milter akhirnya resmi tegak berdiri di Indonesia dan siap “mengepakkan sayap tajamnya”.

Tampilnya Rezim Militer di pemerintahan akhirnya membawa dampak diberikannya peran baru bagi TNI, selaku almamaternya. Mereka dilegalkan membentuk kekuatan sosial-politik bertajuk ABRI. Dengan kata lain, TNI tidak hanya menjadi alat keamanan negara tetapi juga menjadi kendaraan politik, atau yang terkenal dengan Dwifungsi ABRI. Mereka berkamuflase menjadi Partai Golongan Karya. Terhitung Golkar menjadi partai dominan dalam tujuh kali pemilu berturut-turut². Pelencengan fungsi dari TNI itu praktis mendapat serbuan kritik dari segelintir aktivis dan mahasiswa. Dan atas nama keamanan negara serta stabilitas nasional, TNI secara legal diperbolehkan untuk menggunakan wewenangnya, dalam hal ini tentu saja untuk menggunakan senjata dan melakukan tindak kekerasan.

Mulailah terjadi peristiwa-peristiwa tragis di bumi Indonesia. Pada sekitar tahun 80an muncul “Petrus” atau Pembunuhan Misterius (ada yang menyebutnya Penembak Misterius). Orang-orang yang dianggap mengganggu stabilitas nasional diculik dan dibunuh. Tak kurang sekitar 5000 sampai 10.000 orang yang dianggap preman hilang dan tidak pernah kembali. Selain itu masih ada peristiwa lain yang juga tidak kalah mengerikan yaitu “Peristiwa Tanjung Priok”. Sebuah kelompok pengajian yang dianggap menyimpang dari Pancasila dibantai secara massal. Sekitar 1500 orang dikepung oleh pasukan bersenjata beserta truk-truk militer dan kendaraan berat. Ribuan peluru dimuntahkan dan orang-orang tak bersenjata tersebut berjatuhan. Setelah itu mayat-mayat mereka diangkut truk-truk militer dan mobil pemadam kebakaran menyemprotkan air untuk membersihkan TKP. Lenyaplah bukti dan sisa-sisa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.

Kebrutalan militer terhadap ormas Islam ternyata masih berlanjut. Kelompok Pengajian Warsidi, yang juga dianggap menyimpang dari Pancasila, tidak ketinggalan dibantai oleh tiga peleton Batalion 143 Gatam (sekitar 100 orang) dan 40 anggota Brimob di kawasan Umbul Cihideung. Tidak kurang sekitar 250 orang tewas dan sebagian darinya adalah anak-anak dan perempuan³. Peristiwa tersebut masih diikuti dengan penculikan para pedakwah dan aktivis Islam. Pemerintahan Orde Baru memang tidak menginginkan Islam berkembang menjadi sebuah kekuatan politik. Pancasila harus menjadi azas tunggal dalam sebuah partai politik dan ketetapan tersebut banyak ditentang oleh kalangan Islam. Konsekuensinya, mereka harus berhadapan dengan pasukan penjaga keamanan dan stabilitas nasional, dalam hal ini tentu saja TNI.

Kisah kebrutalan militer tidak berhenti sampai disini saja. Kelompok atau orang-orang yang tidak sejalan dengan pemerintah terus diburu dan dibunuh. Pelanggaran HAM oleh penguasa dan militer mulai merajalela. Mulai dari peristiwa hilangnya aktivis buruh Marsinah yang akhirnya ditemukan tewas, pelarangan beredarnya buku karangan Pramoedya Ananta Toer dan karangan para aktivis Islam seperti Abdul Qodir Djaelani, hingga pencekalan buku yang memuat pelurusan Peristiwa G 30S/ PKI yang ditulis oleh orang asing. Pers pun dikekang dan tidak boleh memuat berita secara bebas, riil dan nyata. Wartawan yang liputannya mulai menyerempet kejahatan para penguasa diburu dan dieksekusi. Salah satunya Udin, wartawan yang tewas terbunuh setelah meliput korupsi di kalangan pejabat. Semuanya itu dianggap mengancam stabilitas nasional dan keutuhan bangsa sehingga perlu dibasmi. Pengekangan kebebasan dan pelanggaran HAM itu jelas mengganjal hati para aktivis dan mahasiswa. Gerakan bawah tanah anti pemerintahan mulai bermunculan. Terjadilah demonstrasi-demonstrasi damai yang pada akhirnya menjadi tragedi berdarah di Indonesia.

Diawali dengan penyerangan markas PDI pimpinan Megawati oleh massa PDI Soerjadi yang didukung gerombolan orang kekar berambut cepak yang ber”mimikri” dengan kostum PDI Soerjadi. Puluhan orang dinyatakan tewas dan terluka. Kebrutalan dilanjutkan dengan penangkapan aktivis Partai Rakyat Demokrat (PRD) yang diduga proMegawati. Di luar itu, terjadi juga tragedi berdarah dalam demo mahasiswa di Makassar, Jogja, Solo, Surabaya, Bali, dan sebagainya. Penculikan dan kekerasan terhadap aktivis dan mahasiswa semakin sering terjadi dan menyebabkan emosi rakyat ikut memuncak. Kerusuhan dan penjarahan terjadi di berbagai tempat, mulai dari Situbondo, Tasikmalaya, sampai Lhokseumawe. Dan puncak pelanggaran HAM oleh militer adalah terjadinya tragedi Semanggi dan Trisakti. Sejumlah mahasiswa tewas tertembak saat melakukan demo simpatik. Mahasiswa dan rakyat akhirnya bersatu dan bergerak menduduki gedung MPR/ DPR. Dampak kejadian ini adalah lengser keprabonnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Dengan kata lain Orde Baru tumbang dan digantikan Orde Reformasi.

Pergantian orde ini ternyata tidak membuat pelanggaran HAM di Indonesia berhenti. Pengaruh kebrutalan militer dan penguasa di jaman dulu ternyata masih melekat erat pada orang-orang yang kini berkuasa di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Militer masih menunjukkan eksistensinya meskipun tidak secara langsung. Banyak pensiunan ABRI yang menjadi pejabat, birokrat, atau pimpinan partai politik. Bahkan presiden sekarang pun dari kalangan militer. Sejalan dengan itu, kasus pelanggaran HAM di Indonesia seakan tidak pernah bisa “tutup buku”. Kisah pelanggaran HAM berat oleh militer dan penguasa di masa Orde Baru tidak terusut sampai tuntas. Pemerintah seakan masih pakewuh untuk membawa mantan penguasa Orde Baru sebagai aktor utama dan antek militernya ke meja hijau.

Kasus Orde Baru belum selesai, kini muncul pelanggaran HAM baru yang tidak kalah memprihatinkan yaitu kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Para petinggi Badan Intellegent Negara (BIN) dicurigai berada di balik kasus pembunuhan terencana ini. Dan seperti sudah menjadi tradisi, kasus inipun belum mampu menemui titik terang. Belum lagi pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya mulai dari penggusuran dengan gaya militer yang semakin merajalela, lumpur Lapindo yang menyengsarakan banyak orang, penertiban dengan kekerasan para pedagang kaki lima, hingga melejitnya harga-harga kebutuhan pokok yang membuat rakyat miskin semakin menderita. Pelanggaran HAM di Indonesia memang susah berhenti karena terkesan sudah “akut” dan menjadi tren/ budaya warisan. Satu kasus belum selesai, muncul kasus-kasus pelanggaran HAM yang lain. Begitupun dengan budaya militerisme yang pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Mulai dari kekerasan yang seakan sudah menjadi cara utama memecahkan masalah, budaya tawuran antar geng atau kelompok, hingga kriminalitas yang semakin lama cenderung semakin meningkat. Tampaknya semboyan “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang dipopulerkan oleh R.A Kartini susah diterapkan di negeri kita tercinta ini. So, berminat masuk Akmil?[]

Friday, June 5, 2009

Desain Kemasan: Ketika Shoping MenjadiI Budaya Pop


Kemasan sebuah produk tentulah tidak asing lagi bagi kita, khususnya bagi para shopingholic (orang yang gemar berbelanja) atau bagi kita yang sering mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan atau mal. Hampir setiap kita membeli barang-barang kebutuhan kita, entah itu kebutuhan primer, sekunder, ataupun tersier, kita sering dihadapkan dengan sebuah benda/ alat yang disebut sebagai kemasan. Bisa dikatakan sebuah kemasan merupakan benda yang pertama kali dilihat kita (konsumen) sebelum isi (produk) yang dibeli. Karena posisinya yang “menjadi yang pertama” tersebut, tak ayal membuat bentuk atau desain sebuah kemasan sering dibuat semenarik mungkin dengan berbagai gaya, warna, dan ukuran.

Ketika pada saat ini pusat-pusat perbelanjaan atau mal semakin sering kita jumpai dan berbelanja (shoping), seperti yang disebutkan oleh peneliti John Storey, telah menjadi sebuah budaya populer di masyarakat, tampaknya akan memberikan imbas pada dunia kemasan. Banyaknya mal dan pusat-pusat perbelanjaan tentu saja akan diikuti dengan semakin beragamnya produk-produk yang beredar. Beragamnya produk-produk yang beredar tentu akan diikuti pula dengan semakin beragamnya kemasan dari produk-produk tersebut. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa dunia kemasan akan semakin berkembang, baik dari segi gaya desain ataupun bahannya, mengikuti perkembangan dari dunia mal atau supermarket (pasar).

Tetapi dibalik semakin gegap-gempitanya dunia mal dan supermarket, ternyata terjadi sebuah fenomena yang cukup ironis dan menarik. Munculnya shoping menjadi sebuah budaya populer di masyarakat ternyata tidak selalu menbawa dampak yang menguntungkan bagi pihak pemilik modal atau pihak penjual produk (pemilik toko). John Fiske, seperti yang dikutip John Storey dalam bukunya Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, membeberkan penelitiannya di sebuah mal di Australia yang menyebutkan bahwa untuk setiap 30 orang yang mengunjungi sebuah toko, hanya satu orang yang melakukan transaksi pembayaran (Storey, 2008). Dengan adanya kejadian tersebut, bagaimanakah peran dari desain kemasan? Apa yang harus dilakukan desain kemasan dengan munculnya fenomena tersebut?

Sekilas tentang Desain Kemasan
Desain kemasan adalah bisnis kreatif yang mengkaitkan bentuk, struktur, material, warna, citra, tipografi, dan elemen-elemen desain dengan informasi produk agar produk dapat dipasarkan (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Sedangkan Crhistine Suharto Cenadi, dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra, mendefinisikan desain kemasan sebagai seluruh kegiatan merancang dan memproduksi wadah atau bungkus atau kemasan suatu produk (www.petra.ac.id). Dengan beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan yang lebih sedehana perihal pengertian desain kemasan, yaitu bahwa desain kemasan adalah sebuah kegiatan merancang serta membuat pembungkus (packaging) sebuah produk dengan memperhatikan aspek kreatif dan informasi produk, sehingga produk tersebut dapat dipasarkan.

Sejarah kemasan sendiri sudah dimulai sejak jaman manusia purba dimana pada saat itu mereka (para manusia purba) menggunakan kulit binatang untuk mengumpulkan buah-buahan dan bahan makanan lainnya (Cenadi, 2000). Semakin majunya peradaban membuat kemasan semakin berkembang, dari yang dahulu hanya menggunakan kulit binatang, mulai dibuat kemasan dengan menggunakan anyaman rumput, kulit pohon, daun, hingga kerajinan tanah liat.

Memasuki abad ke-8 bangsa-bangsa di dunia mulai melakukan perdagangan lintas benua. Perdagangan tersebut tak ayal membuat kebutuhan yang mendesak bagi kapal-kapal dan angkutan lainnya untuk membawa barang dagangan, yang kebanyakan pada saat itu berupa rempah-rempah. Akhirnya pada jaman tersebut munculah teknologi pembuatan botol, toples, dan tempayan (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Di daerah Cina yang terkenal dengan Jalur Sutranya juga berkembang kemasan dengan bahan keramik. Tetapi pada saat itu hingga berabad-abad sesudahnya, fungsi dari kemasan masih hanya sebatas untuk melindungi barang dan mempermudah barang ketika dibawa.

Seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, dunia kemasan pun ikut berkembang. Hal tersebut dimulai ketika terjadi revolusi industri yang diawali dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Perubahan proses produksi dari tenaga manusia ke tenaga mesin membuat proses pembuatan barang-barang produksi semakin mudah, dan waktu yang dibutuhkan dalam proses produksi relatif semakin singkat. Barang-barang hasil produksi pun semakin banyak dihasilkan dan jenisnya semakin beragam. Hasil produksi yang semakin meningkat tersebut diikuti pula dengan meningkatnya kebutuhan akan kemasan sebagai pembungkusnya. Hingga akhirnya pada sekitar tahun 1950an dimana mulai munculnya banyak supermarket, mal dan pasar swalayan, yang notabene proses jual-beli di dalamnya dilakukan secara swalayan, membuat kemasan mau tidak mau selain sebagai pembungkus juga harus mampu “menjual” produknya sendiri. Hermawan Kartajaya, seorang pakar dibidang pemasaran, seperti dikutip Crhistine Suharto Cenadi, mengatakan bahwa teknologi telah membuat packaging berubah fungsi, dulu orang bilang “Packaging protects what it sells (kemasan melindungi apa yang dijual)”. Sekarang, “Packaging sells what it protects (kemasan menjual apa yang dilindungi)” (Cenadi, 2000). Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa fungsi kemasan menjadi semakin kompleks. Mulai dari fungsi untuk melindungi produk dan untuk mempermudah saat membawa, hingga sebagai pemberi informasi, penarik perhatian, pemberitahu keistimewaan produk, sampai penjual produknya sendiri.

Jika dilihat dari segi desainnya, perkembangan desain kemasan bisa dikatakan terpengaruh oleh perkembangan teknologi pada jamannya, selain tentu saja terpengaruh oleh fungsinya yang semakin kompleks. Mulai dari ditemukannya teknologi kertas, hingga tube aluminium dan laminasi foil, membuat desain kemasan ikut berkembang dengan pesat baik dari segi bahan maupun bentuknya. Selain itu kemajuan tipografi pada tahun 1960an ikut mendukung kebutuhan desain kemasan sebagai sarana komunikasi visual suatu kepribadian produk secara langsung (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Penguasaan tipografi pada saat itu memang mulai berkembang menjadi bentuk seni yang bernilai tinggi. Desain kemasan pun sering dijadikan obyek pembuatan seni kontemporer pada saat itu, misalnya pada karya fenomenal Andy Warhol yang menggunakan obyek repetisi kaleng Campbell’s Soup.

Majunya perekonomian dunia dan semakin canggihnya teknologi, meyebabkan barang-barang semakin cepat dan mudah dihasilkan. Produksi mulai melebihi permintaan konsumen, dan persaingan dalam pasar pun semakin meningkat. Produk-produk baru yang memasuki pasar menggeser produk-produk lama yang tidak sukses. Konsumen semakin selektif saat berbelanja dan semakin sering merasa tidak puas. Perlindungan kepada konsumen akhirnya mulai muncul dengan adanya peraturan mengenai desain kemasan. Misalnya mengenai penipuan terhadap konsumen melalui deskripsi produk yang tertera dalam kemasan, pengurangan berat yang menyebabakan diharuskannya pencantuman berat netto di kemasan produk, hingga label harga yang lebih murah daripada harga aslinya. Para produsen pun mulai mencantumkan layanan bebas pulsa dalam setiap kemasan produk yang dijualnya, dengan tujuan untuk menungkatkan kepercayaan konsumennya.

Ketika peredaran produk kebutuhan manusia sudah merajalela di pasar, mulai muncul paradigma di masyarakat yang menganggap produk-produk suatu jenis kebutuhan sama saja antara produk yang satu dengan produk yang lain. Dengan kata lain masyarakat sebagai konsumen menganggap semua produk tidak ada bedanya. Apalagi dengan sifat pasar swalayan yang mengelompokkan produk-produk sejenis dalam satu susunan rak, membuat kesan seragam dari produk yang dipasarkan semakin kentara. Hal tersebut membuat para produsen mulai mencari cara untuk membedakan produk mereka dengan para pesaingnya. Yang pertama dilakukan oleh para produsen adalah dengan menetapkan merek produk. Merek adalah sebuah nama, sebuah tanda khas kepemilikan dan representasi produk, jasa, orang, dan tempat. Ini meliputi semua mulai dari material tercetak, nama produk, desain kemasan, desain iklan, papan reklame, seragam, bahkan arsitektur (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Dengan kata lain merek bukan hanya sekedar sebuah nama produk, tetapi segala sesuatu yang berkaitan dan menjadi ciri dari produk tersebut. Perkembangan selanjutnya adalah mulai digunakannya material yang baru dalam desain kemasan, misalnya dengan mulai diperhatikannya “aspek tekstur” kemasan, hingga pengembangan bentuk kontur dan kemasan multi kurva (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Dalam periode persaingan ketat seperti ini, desain kemasan menjadi sebuah faktor yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan atau kesuksesan sebuah produk di pasaran.

Konsumsi, Konsumen, hingga Konsumerisme
Setiap manusia pasti memiliki kebutuhan dalam rangka melangsungkan kehidupannya sehari-hari. Kebutuhan hidup manusia tersebut akan tercukupi dengan adanya interaksi antara manusia dengan alam. Dari situlah muncul gagasan dasar tentang teori konsumsi yaitu “mengumpulkan dari alam”. Manusia sebagai konsumen mengambil dari alam, dan alam menyediakan untuk manusia (Soedjatmiko, 2008). Tetapi ternyata lama kelamaan kebutuhan manusia semakin meningkat dan beragam jenisnya. Manusia lalu mulai menciptakan alat-alat pembantu untuk mencukupi kebutuhannya yang semakin beragam tersebut. Dari situlah muncul pertama kali istilah “masyarakat produksi”, yaitu masyarakat yang menciptakan alat guna membantu dalam kegiatannya memanfaatkan hasil alam. Mengikuti perkembangan jaman yang semakin maju, alat-alat yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pun semakin lengkap dan canggih. Dari mulai alat yang digerakkan dengan tenaga manusia atau hewan, hingga alat yang mulai digerakkan dengan tenaga mesin. Hal tersebut tidak lepas dari adanya Revolusi Industri yang mulai memperkenalkan mesin dalam sistem produksi. Produksi mulai menjadi kegiatan pokok manusia sehingga produksi seperti mendapat tempat yang utama dalam kehidupan manusia.

Setelah memasuki era moderen dimana populasi penduduk semakin meningkat dan teknologi semakin canggih, proses produksi mulai mengalami peningkatan yang pesat. Pabrik-pabrik dan buruh mulai bermunculan seiring dengan sistem ekonomi kapitalis yang mulai merebak. Dari sinilah istilah “hidup untuk produksi” berubah menjadi “hidup untuk konsumsi”. Hal ini karena masyarakat (buruh) tidak lagi berproduksi/ membuat barang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya melainkan untuk tujuan lain, yaitu mendapatkan upah.. John Storey berpendapat bahwa di dalam masyarakat kapitalis, para buruh membuat barang-barang demi mendapatkan upah. Lalu barang-barang yang dihasilkan tersebut dijual di pasar, dan para buruh harus membeli dengan upah mereka barang kebutuhan yang sebenarnya mereka buat sendiri (Storey, 2008). Karl Marx menggunakan istilah komoditas untuk menyebutkan barang-barang hasil produksi tersebut. Lebih jauh lagi Karl Marx, seperti yang dikutip Soedjatmiko, berpendapat bahwa komoditas merupakan produk yang tidak dihasilkan untuk konsumsi individu secara langsung, melainkan terlebih pada penjualan di pasar. Komoditas lebih bermakna sebagai nilai tukar daripada nilai guna (Soedjatmiko, 2008). Sedangkan Jean Boudrillard dalam bukunya Masyarakat Konsumsi berpendapat bahwa sistem produksi menciptakan sistem kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan manusia sengaja dibuat untuk menciptakan “kekuatan konsumptif” (Boudrillard, 2006). Hal tersebutlah yang menurut John Storey menyebabkan munculnya istilah “masyarakat konsumen”, sebuah masyarakat yang mau tak mau harus membeli untuk menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Memasuki sekitar tahuin 1980an diskursus tentang konsumsi mulai mendapat perhatian dari para peneliti, termasuk Pierre Bourdieu. Menurutnya, konsumsi tidak hanya diartikan sebagai konsumsi produk-produk hasil industri, melainkan juga tanda, simbol, ide, dan nilai yang mejadi interaksi antara individu dan masyarakat serta menjadi penentu demarkasi kelas sosial. Maka disini kelas yang dominan akan menunjukkan superioritasnya melalui akses kepada budaya dan konsumsi yang tinggi (Soedjatmiko, 2008). Dengan kata lain konsumsi lebih merujuk pada nilai tanda daripada nilai guna. Boudrillard juga berpendapat bahwa konsumsi produk tidak lagi mengarah pada fungsi kebutuhan melainkan terlebih pada yang disebut logika hasrat (a logic of desire) (Soedjatmiko, 2008). Masyarakat pun pada akhirnya berlomba-lomba untuk melakukan tindak konsumsi, demi melampiaskan hasrat membelinya serta meningkatkan prestise dan strata sosialnya, yang kemudian menyebabkan munculnya istilah konsumerisme.

Secara sederhana konsumerisme dapat diartikan sebagai gaya hidup mengkonsumsi. Jika konsumsi diartikan sebagai sebuah tindakan, maka konsumerisme adalah sebuah cara hidup. Pengertian tersebut sering disalahtafsirkan bahwa konsumerisme identik dengan hedonisme, pemborosan, dan pengahambur-hamburan uang. Jean Boudlirrard menjelaskan bahwa konsumerisme merupakan dampak sosial konsumsi sebagai gejala, bukan sebuah kondisi yang berlebih (Boudrillard, 2006). Dengan kata lain konsumerisme merupakan gejala yang merebak dalam suatu masyarakat pada suatu masa, dan bukan sebagai tindak konsumsi yang terlalu berlebihan dari masyarakat. Tetapi terlepas dari itu, konsumerisme sebagai gaya hidup konsumsi tetap saja menciptakan sebuah gaya hidup belanja (shoping) dalam masyarakat. Apalagi didukung dengan semakin merebaknya mal dan pusat-pusat perbelanjaan, membuat shoping menjadi sebuah gaya hidup yang populer di masyarakat.


Shoping sebagai Budaya Populer
Dari uraian di atas telah dijelaskan bahwa konsumerisme membentuk fenomena berbelanja (shoping) menjadi sebuah budaya populer di masyarakat. Berbelanja disini sendiri diartikan sebagai kegiatan mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan, mal, supermarket, ataupun pasar swalayan. Di era globalisasi seperti ini pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan memang semakin pesat, khususnya di kota-kota besar. Modal kapitalis yang mengalir mencapai triliunan rupiah. Orang-orang semakin dimanjakan dengan bangunan gedung yang tinggi, memiliki beberapa lantai dan suasana ruangan yang sejuk. Apalagi fasilitas-fasilitas yang lengkap seperti tempat bermain anak, hotspot, hingga bioskop, membuat masyarakat merasa lebih tinggi derajatnya jika berbelanja di mal. Dunia megah mal memang memberikan citra kelas sosial yang tinggi. Dengan adanya jaminan gengsi, masyarakat semakin antusias untuk menghabiskan waktu di mal ataupun pusat-pusat perbelanjaan lainnya. John Fiske bahkan menganggap pusat-pusat perbelanjaan sebagai “katedral-katedral” konsumsi (Storey, 2008). Hal tersebut semakin menguatkan paradigma yang mengatakan bahwa konsumsi lebih dari sekedar aktifitas ekonomi semata (mengkonsumsi kebutuhan material), melainkan konsumsi juga berhubungan dengan mimpi, hasrat, dan identitas. Storey juga menambahkan bahwa berbelanja telah menjadi aktifitas pengisi waktu luang yang paling populer selain menonton televisi (Storey, 2008).

Shoping ≠ Membeli
Yang menarik adalah ketika shoping telah menjadi sebuah fenomena budaya populer, muncul beberapa pendapat peneliti yang menyatakan bahwa berbelanja (shoping) ternyata tidak identik dengan membeli (konsumsi). Meaghan Morris, seperti yang dikutip oleh Storey, mengatakan bahwa pusat perbelanjaan digunakan oleh kelompok-kelompok berbeda secara berbeda pula. Orang mungkin berbelanja di suatu pusat perbelanjaan dan pergi ke tempat perbelanjaan lainnya hanya untuk bersosialisasi atau berkeliling-keliling (Storey, 2008). Selain itu John Storey juga berpendapat bahwa berbelanja bukanlah ritual penundukan pasif terhadap kekuasaan konsumerisme (Storey, 2008). Sangat ironis memang jika ternyata munculnya belanja sebagai budaya populer membawa dampak antiklimaks terhadap hegemoni kapitalisme. Bill Pressdee, seperti yang dikutip oleh Storey, telah melakukan penelitian di Australia Selatan yang menyatakan bahwa beberapa orang yang berkumpul di pusat-pusat perbelanjaan lokal ternyata tidak untuk membeli apa yang sedang dijual melainkan untuk menggunakan ruang publik mal. Presdee menggunakan istilah “belanja proletarian” untuk melukiskan kenyataan ini (Storey, 2008). Michael Schudson juga menyatakan bahwa sekitar 90 persen produk baru di mal gagal menarik minat konsumen di Amerika Serikat. John Sinclair dan Simon Frith juga melakukan penelitian yang hasil akhirnya cenderung menegaskan bahwa kekuasaan diskrimasi konsumen tidak ekuivalen dengan apa yang ditawarkan (Storey, 2008).

Fenomena tersebut tampaknya juga terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia, khususnya kaum muda, telah menjadikan mal atau pusat-pusat perbelanjaan sebagai tempat untuk berkumpul dan jalan-jalan (kaum muda mengistilahkan hang out). Ketika pulang sekolah atau liburan, para kaum muda Indonesia sering menghabiskan waktunya di mal atau pusat-pusat perbelanjaan, dan kebanyakan dari mereka hanya untuk menghabiskan waktu luang, lihat-lihat, dan kumpul-kumpul. Hal tersebut juga yang mungkin semakin menegaskan bahwa kaum muda memang identik dengan budaya subkultur. Tetapi selain kaum muda, para orang tua juga sering mendatangi mal atau pusat perbelanjaan tidak untuk membeli barang, melainkan hanya untuk melakukan pertemuan dengan orang lain atau sekedar mengajak anaknya jalan-jalan. Bahkan mal sering digunakan beberapa orang hanya sekedar untuk berteduh ketika hujan, atau ngadem ketika kepanasan.

Jika kenyataanya demikian, berarti dapat disimpulkan bahwa munculnya shoping (belanja) sebagai budaya populer ternyata tidak selalu membawa berkah atau dampak yang menguntungkan bagi pihak pemilik modal, dalam hal ini penjual produk atau pemilik toko. Banyaknya orang yang mengunjungi mal ternyata tidak menjamin barang-barang yang dijual akan laku keras. Bahkan seperti yang telah dikatakan di awal, John Fiske sempat melakukan penelitian di sebuah mal di Australia yang menyebutkan bahwa untuk setiap 30 orang yang mengunjungi sebuah toko, hanya satu orang yang melakukan transaksi pembayaran (Storey, 2008). Di Indonesia pun sepertinya kondisinya tidak jauh berbeda. Mal sepertinya telah mengalami disfungsi dari tempat jual-beli barang/ produk menjadi tempat untuk menghabiskan waktu luang atau jalan-jalan. Hal ini tentu saja membuat para produsen harus berpikir lebih keras agar dapat menjual produk dagangannya kepada konsumen. Apalagi sifat pusat perbelanjaan moderen, seperti mal atau pasar swalayan, yang proses jual-belinya dilakukan secara swalayan oleh konsumen, semakin menyulitkan pihak produsen dalam melakukan tindakan persuatif secara langsung kepada calon pembeli. Di saat seperti inilah peran desain kemasan dibutuhkan.

Desain Kemasan sebagai Juru Selamat
Jika ditarik secara horisontal, pada dasarnya desain kemasan mempunyai fungsi yang selalu berkembang. Awalnya pada jaman manusia purba, desain kemasan sekedar berfungsi untuk mewadahi bauh-buahan dan bahan makanan lainnya. Kemudian ketika manusia mulai menjelajahi dunia, fungsi kemasan berkembang menjadi fungsi untuk membungkus, melindungi hingga mempermudah saat membawa barang. Hingga saat memasuki era moderen dimana produk yang dihasilkan semakin banyak dan beragam, kemasan diharuskan mampu menjadi penarik perhatian serta penjual dari sebuah produk.

Ketika saat ini terjadi fenomena menyimpangnya fungsi mal, pasar swalayan, dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya, dimana masyarakat mengunjungi tempat-tempat tersebut tidak selalu untuk membeli barang, fungsi desain kemasan tampaknya mulai bertambah lagi. Desain kemasan sekarang tidak hanya berfungsi untuk membungkus, melindungi, sampai menjual produk, melainkan juga harus mampu menawarkan produknya sendiri. Fungsi menawarkan disini cenderung lebih luas dan kompleks dari hanya sekedar menjual. Jika menjual hanya menjual (contohnya rumah atau mobil yang ditempeli tulisan “dijual”), maka menawarkan adalah menjual dengan berbagai usaha persuatif dan deskriptif (salesman). Usaha persuatif tentu saja mempunyai tujuan untuk merayu, mengajak, serta membujuk, dalam hal ini untuk membeli sebuah barang/ produk. Sedangkan fungsi deskriptif adalah fungsi dimana kemasan harus mampu menjelaskan, menjabarkan, serta memberitahukan tentang deskripsi produknya kepada konsumen. Hal ini mengingat pada pasar yang sifatnya swalayan konsumen tidak lagi bergantung pada seorang pramuniaga untuk mengetahui informasi dari sebuah produk, melainkan dari kemasan produk tersebut. Kemasan telah menjadi “pramuniaga hening (the silent salesman)” (Klimcuk dan Krasovec, 2007). Jika saat ini terjadi keadaan dimana orang datang ke mal, pasar swalayan, ataupun pusat-pusat perbelanjaan hanya untuk jalan-jalan, kemasan harus mampu “menyihir” orang-orang tersebut agar membeli. Dengan kata lain orang yang tadinya mempunyai niat hanya untuk jalan-jalan di pusat perbelanjaan, harus bisa berubah pikiran ketika telah bertemu kemasan. Orang tersebut harus “dibujuk dan dirayu” untuk membeli sebuah barang, entah itu secara sadar ataupun tidak. Fungsi “membujuk dan merayu” itulah yang menjadi tugas baru desain kemasan. Kemasan harus dapat melakukan “serangan balik” terhadap fenomena populer yang sedang terjadi di masyarakat.

Jika fungsi kemasan sebagai “pramuniaga hening” bisa dikatakan sebagai fungsi jangka pendek, kemasan juga diharapkan mampu mempunyai fungsi jangka panjang yaitu membentuk dan/ atau mempertahankan sebuah kefanatikkan pada para konsumennya. Fungsi fanatik ini sangat identik dengan penggemar. Menurut Joil Jenson, seperti yang dikutip John Storey, penggemar selalu dicirikan (mengacu pada asal-usul istilahnya) sebagai suatu kefanatikan yang potensial. Hal ini berarti bahwa kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan (Storey, 2008). Sebuah desain kemasan harus mampu membuat para konsumen menjadi penggemar dan pembeli setia dari produknya. Fungsi fanatik ini memang tidak bisa berdiri sendiri, dalam arti hanya ditanggung oleh desain kemasan saja, tetapi juga dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain, misalnya kualitas produk dan merek. Dan jika sebuah produk sudah mempunyai penggemar setia tersendiri, maka desain kemasan harus ikut mempertahankan atau bahkan menambah jumlah penggemar tersebut.

Seperti dikatakan di atas, fungsi fanatik ini juga sangat berkaitan dengan merek produk. Merek inilah yang menyebabkan seorang desainer kemasan harus mengetahui sejarah panjang tentang suatu produk, sebelum membuat kemasannya. Desainer kemasan tidak hanya perlu mengetahui pengetahuan mengenai ilmu komunikasi visual saja, melainkan juga dalam hal sosiologi, psikologi, hingga pemasaran dan ekonomi. Fitur-fitur khas dalam kemasan juga harus selalu ditonjolkan serta dipertahankan, entah itu gaya tipografi, pencitraan grafis, warna, ataupun bahan. Kalaupun diperlukan suatu perubahan harus sudah diperhitungkan secara matang dan rinci, karena hal ini menyangkut ekuitas merek. Dengan adanya fungsi fanatik tersebut, sebuah produk tidak perlu khawatir lagi tentang omset penjualannya. Sebuah produk yang telah mempunyai penggemar fanatik juga tidak perlu merisaukan lagi budaya subkultur yang terjadi di pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini mengingat kefanatikan (pada suatu produk) akan membuat seseorang melakukan apa saja demi mendapatkan produk yang disukainnya tersebut. Fungsi fanatik ini juga akan mampu mempertahankan eksistensi produk jika fenomena baru terjadi dalam dunia konsumsi di masyarakat, yaitu fenomena ketika orang berbelanja tidak lagi dengan mendatangi toko, pusat perbelanjaan, pasar swalayan, atau mal, melainkan dengan memanfaatkan teknologi internet.[]

Tato SebagaiI Gaya Hidup Kaum Urban


Kata urban sering diidentikkan dengan pendatang, khususnya pendatang dari desa ke kota, yang kemudian terkenal dengan istilah urbanisasi. Menurut psikiater FK UI-RSCM, dr Suryo Dharmono, SpKJ (K), budaya urban adalah budaya transisional, yaitu budaya yang berkembang terburu-buru dan sifatnya labil sehingga menyebabkan tidak adanya pegangan. Kedatangan seseorang dari desa ke kota dapat menimbulkan terjadinya benturan antara berbagai budaya, khususnya budaya desa dengan budaya metropolis, yang biasanya menyebabkan seorang pendatang merasa tidak dalam safe-area. Anthropolog Universitas Indonesia, Dr Yasmin Zaki Shahab MA, melihat gejala itu sebagai dampak dari globalisasi .
Miming Ismail dalam Harian Kompas menjelaskan bahwa sejak formasi-formasi sosial, ekonomi, dan budaya kontemporer berubah secara radikal, ditandai dengan meriahnya anasir modernitas, seketika formulasi kehidupan manusia pun berubah dengan ragam ekspresi dan penghayatan di kesehariannya. Peralihan kultural itu bahkan tidak hanya menunjukkan suatu peralihan dari masyarakat tradisional ke modern, tetapi juga kini memasuki tahapan masyarakat pos-sekuler (post-secular society). Takdir historis-dialektis ini terus-menerus bergulir melabrak garis batas tradisi dan habitus yang sebelumnya menjadi modus otentik manusia. Garis batas itu tampak melebur ketika tahap kehidupan masyarakat modern memasuki momen kreasi dirinya dalam kultur masyarakat urban .
Sumber lain menyebutkan bahwa budaya urban adalah budaya yang muncul dari hasil persilangan lintas kultur, bahasa, dan teknologi yang dibawa oleh arus modernisasi, yang mengakibatkan tergesernya budaya lama. Jika hal tersebut terus berlangsung maka budaya lama akan semakin terkikis bahkan hilang .

Masyarakat Urban

Masyarakat urban sendiri diidentikkan dengan masyarakat pendatang yang tinggal atau mengadu nasib di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan kota-kota besar lainnya. Masyarkat urban juga sering diartikan sebagai masyarakat desa yang pindah ke kota dimana gaya hidup dan pola pikirnya terpengaruh atau mencoba disesuaikan dengan kehidupan perkotaan. Di sisi lain masyarakat urban diartikan sebagai masyarakat yang majemuk, dimana ada beragam etnis dan golongan yang tinggal bersama di lingkungan yang permanen. Bukan hanya integrasi sosial, integrasi kebudayaan juga terjadi dalam masyarakat urban. Selain memegang tradisi leluhur, mereka juga menerima tradisi luar lewat proses akulturasi .

Gaya Hidup Urban

Gaya hidup urban sangat berkaitan dengan peleburan identitas. Peleburan identitas dalam gaya hidup urban bahkan dianggap sebagai pencitraan-pencitraan diri yang melampaui kehendak, bahkan rasionalitas dirinya. Hal tersebut menyebabkan tampilan wajah masyarakat urban pun bergeliat dalam kemeriahan lanskap kota dan perilaku masyarakat pesolek, di tengah keriuhan dan keterasingan dirinya dari realitas primordial.
Normalitas dan keteraturan sosial di dalam kultur urban sekaligus menunjukkan tingkat abnormalitas. Dalam perwajahannya yang elok nan seksi, tubuh-tubuh manusia moderen seolah tengah mengalami proses aktualisasi diri meski selalu muncul ironi di dalamnya. Di suatu massa ribuan, bahkan jutaan manusia, tampil sebagai individu yang seakan ingin tampil otentik, tetapi dalam keotentikannya sekaligus muncul abnormalitas dalam modus eksistensinya. Penyimpangan-penyimpangan itu tampak secara vulgar dalam bentuk budaya narsisme, hedonisme, dan konsumerisme, sehingga dalam batas tertentu keteraturan dan normalitas dunia kehidupan modern pun melahirkan schizophrenia budaya sebagaimana tampil dalam bentuk kapitalisme.
Tak ada lagi batasan teritori, bahasa, dan etnisitas dalam kultur urban. Semuanya melebur dalam gairah perayaan sekaligus pengorbanan yang lahir dari efek globalisasi. Manusia-manusia urban kini tampil sebagai ikon yang seolah telah meninggalkan batas tradisi dan bahasa serta perubahan modus produksi dan aktualisasi di dalamnya sehingga etalase kota pun diriuhkan oleh heterogenitas budaya . Dunia industri, iptek, dan informasi adalah realitas hidup sehari-hari yang terus gencar mengubah atau juga membentuk watak, pola hidup, gaya dan juga selera, dimana cenderung turut mengubah mentalitas masyarakat urban menjadi impulsif, labil, cepat marah, kurang sabar, kecemburuan yang tinggi, konsumtif, banyak menuntut, kasar dan buas, mudah tersinggung serta suka menekan .

Pergeseran Fungsi dan Peranan Tato Dalam Budaya Urban

Memasuki era posmoderen yang cenderung di dalamnya penuh dengan pemberontakan dan perlawanan pada pakem yang ada, tato banyak mengalami pergeseran dalam hal fungsi dan pemaknaan. Jika kita lihat dari awal dimana tato belum menjadi sebuah budaya global seperti sekarang ini, tato merupakan sebuah tradisi dari suatu peradaban. Pada jaman tersebut tato dijadikan sebagai ritual religius, simbol status, ataupun tradisi turun temurun yang cukup penting dan mengikat pada suatu suku.
Setelah melewati perkembangan jaman dan perubahan konstruksi kebudayaan, makna tato sempat mengalami stigma negatif. Mulai dari terbentuknya kelompok pemberontak Yakuza di Jepang hingga munculnya fenomena Petrus di Indonesia, sempat membuat perkembangan tato, khususnya di Indonesia, mandeg. Pada saat itu tato dianggap sebagai sebuah simbol kejahatan. Orang yang memakai tato diidentikkan dengan preman, penjahat, pengacau ketentraman masyarakat, dan dianggap membangkang terhadap norma-norma yang ada. Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat "pengesahan" ketika pada tahun 1980-an terjadi penembakan misterius terhadap ribuan gali (penjahat kambuhan) di berbagai kota di Indonesia. Mantan Presiden Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (PT. Citra Lamtorogung Persada, Jakarta, 1989), mengatakan bahwa petrus (penembakan misterius) itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang jahat yang suka mengganggu ketentraman masyarakat.
Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, tato menyandang predikat baru yaitu dianggap sebagai suatu gaya hidup yang modis, trendi, dan fashionable.

Tato Sebagai Gaya Hidup Masyarakat Urban

Pada kehidupan masyarkat urban, tato menempati kedudukan khusus dan menjadi pilihan dalam gaya hidup. Tato dijadikan pelengkap dalam fashion dan disejajarkan dengan aksesoris-aksesoris pelengkap fashion lainnya. Tidak hanya tato permanen, tato temporari pun sekarang menjadi sebuah tren dalam berpenampilan. Fenomena ini diakui Yunita P. Sakul, Psi., sebagai salah satu dampak globalisasi . Tren tato ini tidak lepas dari andil media massa yang tanpa malu-malu menampilkan artis-artis dengan tato di tubuhnya. Masyarakat urban yang notabene berusaha beradaptasi dengan kehidupan metropolis juga tanpa sungkan-sungkan memplagiat style idolanya. Idola dalam hal ini menjadi sumber inspirasi dan referensi untuk menemukan jati diri para kaum urban. Proses tahapan pengaruh idola terhadap pengikut atau pengadopsi melewati bererapa tahapan, yakni: interest stage (terpesona atau tertarik model penampilan seseorang), kemudian evaluation stage (mengevaluasi perlu atau tidaknya melakukan peniruan), trial stage (mencoba menirukan bagian yang menarik hatinya), dan yang terakhir adalah adoption stage (mengambil keputusan, menirun sang idola) .
Tato yang saat ini menjadi budaya popular juga tidak mengenal usia dan jenis kelamin dalam melebarkan pengaruhnya. Tidak hanya anak muda, ibu rumah tangga pun sekarang sedang dilanda “demam” tato, khususnya tato temporari . Sejak dikenalkannya tato temporer yang didesain secara modern, membuat banyak peminat tato lebih berani mengekspresikan dirinya dengan lukisan badan khas bangsa Mesir zaman dulu. Bahkan kaum wanita saat ini tak sungkan-sungkan mentato badannya dengan berbagai motif hingga membatik seluruh badan dengan tinta berwarna-warni.
Selain karena tren, pesatnya perkembangan tato juga diduga karena adanya unsur estetika dalam tato itu sendiri. Semua orang, termasuk masyarkat urban, tentu menyukai keindahan. Dengan bertato, seseorang ingin memamerkan unsur keindahan yang dimiliki kepada orang yang melihatnya. Seseorang akan merasa bangga jika orang melihat, atau bahkan memuji tatonya. Selain itu tato juga menjadi alat ekspresi diri. Seseorang yang sedang jatuh cinta misalnya, ia tidak akan sungkan untuk merajah kulitnya dengan inisial nama kekasihnya.
Fungsi sosial tato dalam masyarakat urban pun berbeda dengan fungsi sosial tato pada masyarakat tradisional (suku). Dalam masyarakat tradisional tato memiliki fungsi religius dan politis. Sedangkan dalam masyarakat urban yang menganut budaya popular, tato hanya berfungsi untuk kesenangan dan lebih cenderung ke art. Makna tato memang tidak selalu sama, tergantung dari intrepetasi masing-masing pihak, baik pemakai tato itu sendiri, maupun masyarakat pada umumnya.

Televisi dan Kaitannya dengan Dunia Desain Komunikasi Visual


Mendengar istilah ”televisi” pastilah sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Media massa elektronik yang bisa memunculkan gambar dan suara ini sangat dekat dengan kehidupan manusia saat ini, sehingga terasa ada yang kurang jika dalam sehari tidak menonton acara televisi. Kekuatan audio-visualnya seakan-akan mampu menghipnotis setiap manusia yang ada di depannya tanpa mempedulikan umur, jenis kelamin, pangkat, golongan ataupun tingkat pendidikan. Hampir semua orang mengaku suka menonton televisi meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang menganggap sebagai sumber informasi, sarana bisnis atau hanya sekedar sebagai hiburan semata. Memang televisi seakan-akan telah menjadi kebutuhan pokok orang masa kini selain sandang, pangan dan papan tentunya.

Dilihat dai pengertian secara harfiahnya, televisi berasal dari kata “tele” yang berarti jauh, dan “vision” yang berarti tampak ( Wikipedia Indonesia, 2007). Dengan kata lain dapat diartikan secara etimologi bahwa televisi adalah sebuah alat berbasis audio-visual yang mampu menangkap siaran dari jarak jauh dengan bantuan satelit. Dan kemampuan satelit yang mempunyai daya jangkau luas tak ayal membuat sebuah siaran televisi dari suatu negara dapat disaksikan di semua negara bahkan di seluruh belahan dunia. Sebagai contoh misalnya sebuah pertandingan sepakbola. Selain dapat disaksikan di berbagai negara juga mampu ditayangkan secara langsung. Sebuah bukti yang seakan-akan menegaskan bahwa peribahasa “dunia tak selebar telapak tangan” telah menjadi sebuah kenyataan.

Sebagai media audio-visual, televisi memberikan pengaruh yang besar pada setiap orang yang menontonnya. Besar-kecil pengaruh yang diterima sangat tergantung pada kondisi psikologis dari para penonton tersebut. Televisi memang cenderung mampu membentuk perilaku seseorang disamping fungsinya sebagai pemberi informasi dan media hiburan. Fatalnya, perilaku yang terbentuk tidak hanya perilaku yang positif saja, melainkan juga perilaku yang negatif. Dan perilaku tersebut dapat terbentuk secara sengaja ataupun tidak disengaja. Arif S. Sadiman memberikan pengertian bahwa televisi adalah jendela dunia di rumah kita, yang tidak aman sama sekali. Anggota kelompok sosial yang kita sebut keluarga "bertambah" dengan hadirnya tokoh-tokoh lain dari luar rumah, luar kota, luar negeri bahkan luar angkasa. Pesan-pesan dan informasi baik yang bersifat hiburan maupun penerangan dan pendidikan makin deras membanjiri kita. Model perilaku dan tokoh identifikasi diri semakin banyak ditawarkan kepada kita dan keluarga kita (Arif S. Sadiman, 2007). Selain itu pola tingkah laku kita juga kita peroleh dengan jalan mengamati tingkah laku orang lain dan melihat akibat-akibat dari tingkah laku tersebut, tanpa harus ada ganjaran maupun hukuman secara eksplisit (Lazerson, 1975). Dari penjelasan di atas maka tak heran jika sekarang marak diberitakan tentang anak-anak kecil yang terluka, atau bahkan sampai tewas akibat meniru adegan gulat di tayangan televisi.

Selain kekuatan audio-visualnya yang mampu merasuk ke tubuh orang seperti yang dijelaskan di atas, televisi juga mempunyai keunggulan-keunggulan lain dibandingkan media massa lainnya, seperti media cetak, radio dan sebagainya. Salah satunya adalah kemampuan televisi menjangkau khalayak yang luas tanpa ada batasan tempat. Tayangan televisi mampu menjangkau sampai ke desa, kota, negara bahkan dunia. Selain itu juga tidak ada batasan usia, jenis kelamin, pangkat, golongan serta tingkat pendidikan untuk menonton acara televisi. Dengan kata lain, siapa saja dan dimana saja orang bisa menonton dan menikmati siaran televisi.

Keunggulan lainnya adalah televisi terbukti mampu mempengaruhi persepsi dan pandangan seseorang. Informasi dan tayangan yang berulang-ulang walaupun hanya beberapa detik terbukti lebih mampu mempengaruhi pikiran seseorang dibanding informasi yang hanya dilihat sekali saja. Seringkali tanpa sadar informasi yang kita terima merasuk kedalam pikiran kita dan kemudian terrealisasikan dalam bentuk perilaku tertentu. Bahkan informasi yang salah karena ditayangkan secara berulang-ulang akan dianggap sebagi suatu kebenaran. Sebagai contoh misalnya seseorang sangat tidak menyukai sebuah produk karena ia pernah mencobanya, dan hasilnya mengecewakan. Tetapi dengan bantuan televisi yang mengiklankan produk tersebut secara rutin dan dengan strategi iklan yang jitu, bukan tidak mungkin orang tersebut akan membeli produk tersebut untuk mencobanya kembali. Dan kemampuan mengubah persepsi tersebut tidak hanya untuk sebuah produk atau jasa, melainkan juga tentang hal-hal yang lain yang sifatnya lebih kompleks. Misalnya dalam dunia politik, televisi mampu mengubah persepsi orang tentang seorang tokoh politik atau negara tertentu sehingga sikap yang tadinya menentang bisa berubah menjadi mendukung.

Dalam dunia desain komunikasi visual, televisi merupakan sebuah media yang nyaris perfect untuk menyalurkan sebuah karya. Hal ini tidak lepas dari sifatnya yang mampu menjangkau seluruh dunia dan mampu disaksikan oleh berbagai tingkatan usia. Karya desain komunikasi visual yang paling dominan dan membudaya dalam televisi adalah iklan televisi. Beriklan dengan televisi jelas mempunyai kekuatan yang lebih daripada beriklan lewat media cetak atau radio. Daya jangkau yang sangat luas dan tanpa batasan jelas mempermudah sebuah iklan untuk “beraksi”. Kekuatan audio-visualnya yang mampu mengubah persepsi seseorang jelas merupakan media yang sangat relevan untuk menawarkan sebuah produk atau jasa. Tak aneh jika walaupun harganya mahal, iklan televisi yang muncul hanya beberapa detik namun berulang-ulang itu semakin membanjiri setiap tayangan program atau siaran televisi. Siaran yang hanya satu jam misalnya. Setelah dihitung secara cermat tenyata hanya tayang selama setengah jam, dan yang setengahnya lagi merupakan space untuk iklan. Apalagi jika siaran televisinya sedang booming dan memiliki rating yang tinggi, bukan mustahil jika iklannya lebih dominan daripada siarannya. Misalnya tayangan “Empat Mata” yang dibawakan Tukul Arwana. Siarannya yang saat ini cukup sukses dan menjadi favorit di masyarakat akhirnya diperpanjang jam tayangnya agar dapat menampung iklan lebih banyak lagi.

Namun ada fenomena yang menarik yang terjadi pada masyarakat saat ini, yaitu masyarakat cenderung tidak menyukai iklan televisi. Setiap menonton acara televisi dan kemudian iklan muncul, masyarakat akan segera mengubah channel dan mencari saluran lain yang sedang tidak beriklan. Hal ini karena adanya paradigma pada masyarakat bahwa iklan televisi merupakan sesuatu yang perlu dihindari karena dapat mempengaruhi pikiran untuk berlaku konsumptif. Selain itu mereka menganggap bahwa iklan televisi Indonesia tidak menghibur, terkesan serius dan kaku. Paradigma seperti ini jelas merupakan sebuah tantangan bagi biro iklan atau para “DKVers” untuk membuat iklan yang lebih menarik, menghibur, namun tetap “mengena” walaupun dengan timing yang sangat singkat.

Selain media untuk karya iklan, televisi juga sangat mendukung untuk media penayangan film animasi. Saat ini sangat banyak film animasi yang beredar di Indonesia. Dari animasi dua dimensi (2d) sampai animasi tiga dimensi (3d). Hal ini karena film animasi dianggap sangat menghibur dan mampu menghilangkan penat. Mulai dari tampilan visual tokoh yang sangat sederhana sampai yang realis, dari cerita yang berbobot sampai cerita yang ringan dan segar, ternyata terbukti mampu menarik minat anak-anak bahkan orang dewasa untuk menontonnya. Dragon Ball, Doraemon, Inuyasha, sampai Final Fantasy seakan tetap mempunyai daya tarik tersendiri untuk ditonton, meskipun cenderung bersifat kontemporer dan insidental. Ini sangat bertolak belakang dengan sinetron Indonesia yang cenderung monoton dan ceritanya itu-itu saja, sehingga membuat orang yang menontonnya cepat bosan. Hal ini menciptakan sebuah paradigma baru; sinetron Indonesia meskipun baru tayang pasti ceritanya sama atau paling tidak, mirip dengan yang lain.

Dari pembahasan diatas mungkin dapat kita simpulkan bahwa televisi sebagai media massa mampu memberikan pengaruh yang kuat bagi para pemirsanya. Tayangannya yang menggunakan media audio-visual seakan-akan mampu menghipnotis manusia untuk menuruti dan mengikuti apa yang ada dalam tayangan televisi. Dari laki-laki, perempuan, orang dewasa sampai anak-anak seakan tidak mampu untuk menghindar dari pengaruh sebuah tayangan televisi. Dan fenomena ini merupakan sebuah ladang empuk bagi para insan desain komunikasi visual untuk menebar ide-ide kreatifnya dalam membuat iklan ataupun film animasi. Para “DKVers” seakan terus ditantang untuk mampu membuat karya yang lebih baik lagi, lebih persuatif, dan tentu saja lebih “menjual”. Dan masyarakat mau tidak mau harus selalu menjadi obyek sasaran selama mereka tidak mampu menyingkirkan televisi dari kehidupannya. Siapa suruh menonton televisi?

Fenomena Pop Art dalam Dunia Poster


Pop art yang berasal dari kata popular art merupakan sebuah aliran seni yang memanfaatkan unsur-unsur visual yang ada di media massa yang populer seperti koran, majalah, iklan, televisi atau komik yang kemudian dirangkai atau didesain kembali. Sehingga dapat dikatakan bahwa pop art sebenarnya adalah sebuah seni yang tidak asli dan baru, melainkan berasal dari karya seni yang sudah ada, yang kemudian didesain atau ditata kembali. Aliran pop art muncul dan berkembang setelah masa modernisasi pada seni., yaitu setelah munculnya konsumerisme dan budaya massa. Aliran ini dipopulerkan oleh Andy Warhol dari Amerika.

Aliran pop art yang menggunakan unsur-unsur visual dari media massa yang sedang populer bukan berarti bahwa aliran pop art selalu up to date dan selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Aliran seni yang demikian lebih cocok disebut seni kontemporer. Sedangkan pop art cenderung statis, dan sedikit mengalami perkembangan pada setiap jamannya.

Dalam dunia poster, perkembangan aliran seni pop art cukup menarik dan sempat menjadi trend. Poster-poster dengan warna mencolok cukup mampu menarik perhatian masyarakat umum. Poster-poster pop art memang memiliki ciri-ciri menggunakan warna-warna komplementer, cerah, terang, dan kalaupun menggunakan foto juga menggunakan high contrast. Selain itu poster pop art juga sering menggunakan balon-balon suara seperti yang ada dalam komik, serta digabung dengan headline yang menggunakan tipografi yang meliuk-liuk sehingga terkesan sulit dibaca. Ciri-ciri ini mungkin bertentangan dengan hakikat dasar poster yang biasanya mudah dibaca dan terkesan tidak ramai. Tetapi dengan kekhasan tersebut, poster pop art justru cukup mampu menarik perhatian masyarakat yang mungkin sudah cukup bosan dengan poster-poster yang formal dan kaku.

Poster pop art pada jaman awal modern biasanya dibuat untuk poster konser grup musik, khususnya rock. Musik rock yang identik dengan suara keras dan cahaya yang berkilau dan warna-warni memberikan ide bagi pedesain poster untuk membuat poster pop. Oleh karena sukses menarik perhatian masyarakat, maka poster pop berkembang tidak hanya untuk konser musik, melainkan juga untuk poster-poster sosial seperti gerakan pembela hak asasi manusia, gerakan lingkungan hidup, anti AIDS, bahkan untuk poster-poster komersil. Pada jaman ini poster pop art biasanya dibuat dengan teknik saring (sablon).

Ketika memasuki era muncul dan berkembangnya komputer, yang memunculkan pula komputer grafis dan digital printing, aliran poster pop art ikut tersisih bersama aliran-aliran seni yang lain seperti art nouveau, dan art deco. Poster dengan image poto yang mengalami sentuhan-sentuhan komputer grafis meroket dan terus berkembang mengikuti perkembangan komputer yang pesat. Poster pop art yang terkesan ramai dan mempunyai legibilitas rendah dianggap sudah kadaluwarsa dan kuno. Orang-orang pada jaman itu menganggap bahwa tujuan poster adalah untuk mempromosikan sesuatu, dan poster dipasang di tempat-tempat umum yang orang melihatnya sambil lalu saja, sehingga memerlukan tingkat keterbacaan yang tinggi. Bahkan sempat muncul pula poster yang hanya berisi tulisan saja. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan sifat khas poster pop art. Gaya poster lux yang terkesan mewah mulai berkembang dan mampu bertahan cukup lama, sampai sekarang.

Tetapi saat ini, poster pop art kembali muncul meski mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian dengan jaman. Poster pop art yang dulu menggunakan teknik saring kini menggunakan teknik digital printing. Tetapi karakter utama dari poster pop art, yaitu menggunakan warna-warna komplementer yang mencolok dan menggunakan unsur-unsur visual dari karya lain tetap dipertahankan. Kemunculan kembali poster pop art ini mungkin karena alasan yang sama seperti munculnya poster pop art pertama kali, yaitu masyarakat sudah jemu dengan poster-poster yang terkesan sangat komersil, kaku dan tidak menghibur meski sudah menggunakan teknologi yang maju. Hal ini memberikan gambaran bahwa budaya visual cenderung seakan-akan mengalami perputaran meski aliran yang sekarang dan yang lampau mengalami sedikit banyak perubahan.

Visualisasi Tubuh Manusia dalam Media Poster



Apa yang ada dalam benak kita saat kita mendengar kata tubuh? Ada bermacam-macam pendapat orang yang mengatakan tentang apa itu tubuh. Dan tentu pula pendapat itu saling berbeda satu sama lain. Misalnya Mary Douglas yang melihat tubuh sebagai suatu sistem simbol makhluk sosial dan individu. Atau teori Bio-politics dan Bio-power dari Michel Foucault. Semua itu merupakan pengkajian tubuh yang lebih ke unsur antrhopologinya. Lalu bagaimana jika mengkaji visualisasi tubuh dalam dunia desain komunikasi visual khususnya dunia poster? Karena tidak dapat kita pungkiri bahwa banyak sekali poster yang menggunakan visual tubuh manusia sebagai ilustrasinya. Dan kebudayaan ini sudah berkembang mulai dari era Revolusi Industri sampai era Postmodern sekarang ini. Dan jelas, pemvisualan tubuh manusia tersebut berbeda di tiap eranya masing-masing.

Pada era Revolusi Industri, poster merupakan media promosi yang relatif paling sederhana. Terdiri dari satu lembaran yang dicetak satu muka. Di era ini media poster digunakan untuk sarana komunikasi kepada khalayak ramai di tempat terbuka. Untuk itu poster dibuat dengan ukuran yang besar agar menarik perhatian orang yang sedang berjalan.

Pada era ini, pemvisualan tubuh manusia dalam poster sudah mulai muncul dan berkembang, meskipun unsur tipografinya lebih mendominasi. Dalam poster tersebut, digunakan visualisasi figur tunggal dengan kata-kata judul yang minim. Citra dari produk yang hendak dijual (sebagai presentasi obyektif maupun simbolis) jarang digunakan (Arif Adityawan, 1999:20). Biasanya digunakan visualisasi tubuh wanita dengan tambahan unsur-unsur Art Nouveau untuk lebih menonjolkan sisi estetisnya. Tetapi karena pembuatannya yang masih menggunakan teknik lithographie maka visualisasi tubuh itu pun dibuat lebih sederhana. Biasanya bersifat realis dengan proporsi yang tepat dan gerakan gemulai khas wanita. Hal ini dapat terlihat dalam poster-poster komersil (misalnya rokok), dan poster-poster lainnya seperti poster majalah, ataupun event tertentu. Pada sekitar tahun 1700an setelah kemunculan fotografi, pemvisualan tubuh manusia pada poster pun mengalami perkembangan. Gambar-gambar tubuh manusia yang tadinya menggunakan teknik lukisan tangan telah berganti dengan teknik foto, meski masih ada yang tetap menggunakan teknik lukisan tangan sesuai dengan konsep yang dipikirkan.

Yang cukup menarik dari pemvisualan tubuh manusia pada poster era ini adalah tidak tergantungnya visual poster dengan produk yang hendak dijual, atau image yang ingin diperlihatkan. Maksudnya adalah dalam membuat ilustrasi poster suatu produk, tidak harus mencerminkan image dari produk tersebut. Contohnya iklan rokok pada era ini. Rokok merupakan benda yang identik dengan pria. Namun poster yang dibuat tidak mencerminkan visual tubuh manusia yang macho, elegan atau maskulin, tetapi malah menggunakan visualisasi tubuh wanita yang tidak memegang rokok atau sama sekali tidak ada hubungannya dengan rokok. Malah wanita dalam poster tersebut terkesan feminim dan anggun. Tidak hanya di poster iklan rokok, di iklan lainnya pun seperti itu. Hendak ditujukan kepada siapa saja, dan mengiklankan apa saja, tetap menggunakan figur wanita sebagai ilustrasi posternya.

Pada masa awal seni rupa modern, dimana muncul aliran-aliran seni seperti ekspresionisme, kubisme, surealisme dan lain-lain, poster bergambar tubuh manusia pun mengalami perkembangan, sesuai dengan sentuhan aliran-aliran tersebut. Misalnya pada aliran Ekspresionisme yang dimotori Van Gogh, berkembang poster dengan gambar tubuh manusia yang mulai ekspresif dan kurang proporsi. Penggambaran distorsi orang yang besar dan gemuk, atau malah sangat kecil dan kurus mulai diperlihatkan. Pada masa ini penggambaran tubuh manusia dengan sentuhan Art Nouveau masih terlihat. Tetapi figur wanita sebagai dominasi ilustrasi poster sudah mulai berkurang. Sudah banyak poster-poster yang menggunakan figur laki-laki sesuai dengan pesan, imej atau produk yang ingin disampaikan, serta kepada siapa poster ditujukan.

Sedangkan dalam aliran Kubisme yang dipelopori Pablo Picasso, penggambaran poster dengan gambar manusia yang terkesan terlihat kotak-kotak pun muncul. Hal ini karena orang pada jaman itu menganggap bahwa segala benda di dunia, sebenarnya berasal dari dasar bentuk geometris, termasuk tubuh manusia. Kubisme menandakan kemunculan gaya modern, pemutusan hubungan dengan masa lalu dan penolakan terhadap tradisi. Beberapa teknik kubisme menandakan kelahiran seni abad mesin. Contohnya penggunaan prinsip geometris pada kubisme analitis dan tata cara cut-out yang kaku dari kubisme sintetis (Brighton, 1995:74).

Memasuki era Modernisme, poster bergambar tubuh manusia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Visualisasi tubuh manusia dalam poster era Modern cenderung dikurangi dan lebih disederhanakan. Tidak ada lagi unsur Art Nouveau pada penggambarannya. Hal ini karena pada era Modern unsur simplicity lebih diutamakan. Orang-orang pada jaman ini beranggapan bahwa less is more. Poster pun dibuat lebih sederhana dan efisien, tanpa sentuhan unsur “kruwil-kruwil”. Gaya poster yang cukup terkenal pada masa ini adalah Plakatstil. Ciri dari gaya ini adalah memanfaatkan satu obyek utama tanpa sentuhan dekoratif maupun background lain yang dapat mengganggu kehadiran obyek utama tersebut (Arif Adityawan, 1999:52). Maka jika membuat poster dengan obyek utama seorang manusia ya sudah, hanya gambar manusia dan teks judul yang sederhana. Sedangakan visualisasi dari tubuh manusianya, sudah menggunakan teknik fotografi yang sudah mulai diubah-ubah dengan teknik digital menggunakan komputer, sesuai dengan konsep yang diterapkan.

Pada era Modern ini berkembang pula poster gaya Art Deco, yaitu sebuah gaya yang memunculkan ornamen-ornamen dekoratif yang memanfaatkan unsur-unsur garis hias yang mengesankan gerak dan kecepatan. Gaya Art Deco sering pula disebut gaya modernistik atau moderne karena memadukan bentuk baru yang disederhanakan dengan kecenderungan dekoratif lama. Jika pada era Modern sebelumnya mengguanakan pendekatan less is more, maka pada era Art Deco menggunakan pendekatan form follow fungtion. Sehingga penggambaran tubuh manusia dalam poster di era ini hanya disesuaikan dengan kepentingannya saja. Jika dalam mendesain poster dianggap perlu memvisualisasikan tubuh manusia agar audience lebih memahami, maka tubuh manusia pun dimunculkan. Tetapi jika dianggap tidak perlu, maka tidak usah ditampilkan. Hal ini berbeda dengan era awal Revolusi Industri dimana poster selalu didominasi visual tubuh manusia, khususnya figur wanita. Entah itu poster komersil, ataupun poster event atau kampanye, figur wanita selalu mendominasi karena dianggap memiliki daya tarik tersendiri.

Selain Art Deco dan Plakatstil, gaya lain yang muncul dalam poster era Modern adalah Gaya Tipografi Internasional (International Typographic Style ) yang dikenal juga dengan Gaya Swiss. Dalam gaya ini pemvisualisasian tubuh manusia menggunakan teknik foto, bukan gambar tangan. Hal ini karena foto dianggap lebih realis dibandingkan gambar yang dipengaruhi oleh gaya gambar dari pengilustrasi. Tapi pada era ini pemvisualisasian tubuh manusia kurang diminati dan lebih mementingkan unsur tipografi yang bersifat geometris, sans serif dan rata kanan-kiri. Hal ini terjadi karena gaya tersebut dianggap lebih maju dan modern. Dan setelah Gaya Tipografi Internasional, berkembang gaya New York (New York School) yang semakin menghilangkan unsur visual tubuh manusia pada posternya. Misalnya pada poster film. Poster film yang biasanya menggunakan visual dari bintang filmnya berubah menjadi poster film yang gambar visualnya merupakan metafora visual yang ditafsirkan dari esensi cerita film tersebut.

Memasuki era Postmodern, visualisasi tubuh manusia dalam poster kembali berubah. Ada yang mengatakan bahwa ”aspek intuitif dan kebermainan dari Postmodern mencerminkan keterlibatan pribadi dan emosional dari si pedesain. Pertimbangan yang digunakan seorang pedesain Postmodern dalam menempatkan bentuk dalam ruang lebih disebabkan karena “perasaan” benar, bukan karena kebutuhan komunikatif yang rasional” (Meggs, 1992:446). Sehingga tidak aneh jika poster-poster pada era ini terkesan seenaknya sendiri dan tidak terpaku pada pakem tertentu. Misalnya style Popular Art (Pop Art) yang muncul akibat dari penentangan terhadap pemikiran Internasional Style. Pop Art yaitu aliran seni yang memanfaatkan simbol-simbol dan gaya visual yang berasal dari media massa yang populer. Seperti koran, iklan, televisi, komik, ataupun kemasan barang dan gaya supermarket (baca Duro 1992:232). Aliran yang dipelopori Andy Warhol ini sering menampilkan visual poster dengan gambar-gambar model dari pesohor-pesohor film seperti Marlyn Monroe atau Elvis Presley yang divisualkan menggunakan warna-warna terang, cerah, dan kombinasi dari warna-warna komplementer (hijau-merah, dan sebagainya). Selain itu pemvisualisasian tubuh manusia pada poster era ini juga menggunakan garis dan bentuk yang lentur, sehingga membuat gambar cenderung tidak realis atau tidak jelas.

Selain Pop Art, pada era Postmodern juga berkembang poster dengan gaya yang merupakan garis besar dari budaya Postmodern, yaitu New Wave dan Punk. Gaya ini muncul hampir bersamaan. Pada poster Punk, biasanya pemvisualisasian tubuh manusianya menggunakan gambar-gambar yang telah terpakai yang diproduksi kembali atau diduplikat. Gaya poster Punk cenderung memberontak sehingga sering pula disebut antidesain. Sedangkan poster pada gaya New Wave cenderung memvisualkan tubuh manusia dengan goresan tangan yang ekspresif sehingga bersifat lebih persuatif dan mampu menyita perhatian pelihatnya. Tipografinya pun cenderung sama, menggunakan goresan-goresan tangan yang ekspresif. Selain itu pemvisualisasian tubuh manusianya pun banyak menggunakan elemen metafora, humor, dan citra (image) yang populer dan mudah dikenal sehingga seringkali dihubungkan orang dengan pandangan sosial-politik yang beraliran kiri radikal.

Dari uraian diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa visualisasi tubuh manusia pada perkembangan poster di dunia cenderung berubah-ubah sesuai dengan era dimana poster tersebut dibuat. Mulai dari era Revolusi Industri dimana visual tubuh manusia pada poster cenderung sederhana, memakai figur wanita, menggunakan teknik goresan tangan, dan dilengkapi unsur Art Nouveau. Lalu masuk ke era Modern, dimana visualisasi tubuh manusia pada poster cenderung jarang digunakan karena lebih mementingkan unsur tipogrfinya. Hingga di era Postmodern dimana visualisasi tubuh manusia pada posternya cenderung bersifat metafora, menggunakan figur artis, dan penuh dengan warna-warna yang komplementer. Dan mungkin pada era sekarang ini dimana kita telah masuk ke dunia cyberspace pemvisualisasian tubuh manusia pada poster akan kembali berubah, sesuai dengan budaya massa yang cenderung selalu berubah pula.

Budaya Pop sebagai Instrumen Komunikasi


Siapa yang tidak mengenal Crayon Sinchan. Tokoh komik asal Jepang yang juga sering muncul rutin di televisi ini sangat populer sekitar awal tahun 2000an. Komiknya yang menggunakan kata-kata yang tidak baku (gaul), visual tokohnya yang sangat ngartun, serta karakternya yang khas dan terkesan tidak mendidik mampu beredar laris di pasaran. Tayangan televisinya (yang ditayangkan setelah komiknya laris) pun seakan-akan enggan untuk dilewatkan. Karakter suara khas dari Sinchan sempat menjadi trend dan banyak ditirukan oleh anak-anak pada masa itu. Itulah salah satu contoh budaya ngepop yang sempat merasuk di Indonesia pada sekitar awal tahun 2000an.

Pop art yang berasal dari kata popular art merupakan sebuah aliran seni yang memanfaatkan simbol-simbol dan gaya visual yang berasal dari media massa yang populer seperti koran, majalah, iklan, televisi, komik ataupun kemasan barang dan gaya supermarket (Arif Adityawan, 1999:99). Selain itu, menurut Gregg Berryman, pop art merupakan bentuk perluasan subyek seni yang berasal dari (kemasan) desain grafis kemasan, tanda, billboard, iklan, teknik reproduksi komersial (Didi Subandi, www.komvis.com). Sedangkan Iwan Darmawan menyebutkan bahwa pop art merupakan karakter penggambaran semua aspek dari kebudayaan populer yang memberikan dampak yang kuat dari kehidupan kontemporer. Ikonografi yang dipakai diambil dari televisi, buku komik, majalah film, dan semua bentuk advertising yang disampaikan secara empati dan objektif tanpa memuja atau penghukuman tetapi dengan menunjukkan kesegaran dalam arti tetap menunjukkan ketepatan teknik komersial yang dipakai media dari ikonografi yang dipinjam (Iwan Darmawan, Denpost). Mungkin dari semua penjelasan tadi dapat ditarik pengertian yang lebih sederhana dari pop art (kesenian/budaya pop) yaitu sebagai aliran seni yang karya-karyanya mengambil unsur-unsur dari media massa yang sedang berkembang pada masa itu. Dengan kata lain pop art bukan merupakan karya yang benar-benar asli dan baru melainkan sebuah karya yang dibuat dengan mengambil atau “meminjam” unsur-unsur dari karya yang lain yang kemudian dirangkai dan didesain kembali untuk menghasilkan karya baru.

Pop art pertama kali dipopulerkan oleh Andy Warhol dari Amerika yang merepetisi foto wajah-wajah artis Hollywood seperti Marilyn Monroe atau Elvis Presley dengan silk screen dan menggunakan warna-warna komplementer. Hasilnya wajah-wajah artis tersebut muncul dengan warna-warna yang unik dan berbeda dari aslinya. Karya-karya seperti ini biasanya diproduksi untuk cover-cover album atau poster pertunjukan musik, meski kemudian berkembang untuk poster-poster sosial sampai poster komersil. Pada masa itu budaya pop art pada dasarnya adalah sebuah penentangan dari budaya modern yang yang cenderung statis dan berdesain jangka panjang. Sangatlah aneh jika sebuah desain yang digunakan untuk sebuah produk jangka pendek harus memiliki nilai estetik yang berlaku selamanya. Menurut orang-orang yang menentang budaya modern, estetika barang-barang yang bersifat konsumptif harus berangkat dari budaya populer dan berdasarkan gaya yang mudah dikenal dan dinikmati masyarakat umum. Misalnya desain mobil harus menampilkan unsur-unsur dekoratif yang kokoh sehingga menimbulkan kesan kuat bagi orang-orang yang melihatnya.

Pada masa-masa kemunculan perdananya banyak kalangan yang beranggapan bahwa karya pop adalah karya yang tidak mempunyai nilai estetik dan hanya sebuah karya yang diciptakan untuk kesenangan belaka. Tapi disamping itu banyak pula orang yang beranggapan bahwa karya pop adalah sebuah karya yang tercipta dari kebebasan berekspresi dan membuktikan bahwa tidak adanya diskriminasi dalam seni. Bahkan ada yang beranggapan bahwa dengan karya pop, masyarakat diajak untuk lebih obyektif dalam melihat sebuah karya (pada masa itu banyak orang yang beranggapan bahwa ada dominasi seniman abstrak ekspresionis dari Eropa dan Amerika). Selain itu karya pop juga dianggap dapat mewakili keadaan sosial yang ada dalam masyarakat yang secara cepat dieksploitasi dan disebarkan lewat media massa. Dengan kata lain karya pop dianggap merupakan sebuah kebersamaan pandangan, baik oleh pengamat seni, masyarakat umum, ataupun orang yang tidak mengerti seni sekalipun.

Sebagai media komunikasi, pop art (kesenian/budaya pop) sangat tergantung pada media massa. Tanpa media massa tidak akan ada budaya pop. Hal ini karena media massa yang mempunyai peran untuk menyebarluaskan dan mempopulerkan sebuah karya seni yang bisa diterima sebagai karya pop. Sifat media massa yang mampu menjadi penghubung sebuah karya pop dari penciptanya ke masyarakat umum membuat budaya pop mampu berkembang pesat sebagai media komunikasi yang sangat populer. Namun disamping itu, sebagai media komunikasi budaya pop memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya adalah budaya pop bersifat kontemporer dan tidak bertahan lama. Hal ini disebabkan karena budaya pop menggunakan media massa sebagai media komunikasinya sehingga bisa diproduksi secara massal dan selalu up to date. Ini menyebabkan sebuah karya pop hanya menjadi fenomena sesaat. Hampir tidak ada karya pop yang menjadi trend adiluhung dan bertahan lama. Kalaupun ada, mungkin hanya satu dari seribu karya. Masyarakat cenderung mudah menerima karya pop yang baru dan dengan mudah pula melupakan karya pop yang lama. Misalnya saja komik Sinchan tadi. Saat pertama kali muncul komik ini sangat fenomenal dan laris manis dipasaran. Tapi pada saat ini, seiring munculnya komik-komik yang hampir serupa mungkin hanya segelintir orang saja yang masih membaca komik tersebut atau menonton tayangannya di televisi.

Selain ketidakkonsistenannya tadi, budaya pop yang sifatnya menjadi trend yang fenomenal (walaupun hanya sesaat) membuat karya-karyanya sering mengalami penjiplakan. Karya yang laris manis jelas merupakan bisnis yang menggiurkan bagi sekelompok oknum pembajak karya. Media massa yang digunakan sebagai senjata untuk menyebarluaskan karya pop kini menjadi “bumerang”. Teknologi yang berkembang pesat membuat karya pop mudah dan memang terkesan “aman” untuk dijiplak. Mulai banyak komik-komik bajakan yang beredar dan laris manis dipasaran seakan-akan memberikan gambaran bahwa masyarakat hanya ingin mudah mendapatkan sebuah karya yang bagus dan fenomenal tanpa memikirkan apakah peciptannya menjadi sejahtera atau malah berhenti membuat karya karena tidak mendapat keuntungan. Hal ini karena budaya pop hanya menciptakan hubungan yang longgar antara pihak-pihak yang terjalin dan tidak menimbulkan ikatan emosi. Kalaupun muncul panggemar yang fanatik, itu hanya kamuflase budaya pop semata. Kasus penjiplakan ini sangat mewabah pada karya-karya musik yang sempat menjadi populer. Kaset dan cd bajakan seakan laris manis dan mengungguli penjualan kaset atau cd originalnya.

Contoh lain adalah iklan testimonial yang sempat populer sekitar tahun 2000an. Pertama muncul cukup menarik perhatian dengan tampilan orang yang mengaku penggemar berat sebuah produk dan mengajak masyarakat untuk mengikutinya. Lalu layaknya jamur dimusim semi berbagai produk mulai beriklan dengan iklan testimonial. Tapi sesuai dengan sifat kontemporernya tadi, budaya iklan seperti ini sekarang sudah mulai berkurang meskipun masih ada yang memakainya, khususnya di Indonesia. Mungkin sekarang sedikit berubah dengan mengganti testernya yang dulu orang biasa kini dengan artis-artis terkenal. Misalnya iklan sebuah produk mie instant yang dibintangi artis Titi Kamal, atau iklan sabun cuci yang dibintangi Luna Maya. Iklan-iklan tersebut masih mengandalakan strategi iklan yang terkesan sudah “kuno” dan ketinggalan jaman. Tapi sering kali muncul pertanyaan apakah benar Titi Kamal selalu makan mie tersebut? Apakah benar Luna Maya selalu mencuci dengan sabun tersebut? Atau malah mereka tidak pernah memakan atau memakainya?

Dari uraian diatas mungkin dapat disimpulkan bahwa budaya pop memang mampu menjadi media komunikasi yang sangat fenomenal dan mampu menyebarluaskan pengaruhnya dengan cepat seiring perkembangan media massa yang semakin pesat. Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa budaya pop sering menjadikan sebuah karya menjadi sangat tidak berharga karena dengan mudahnya diplagiat dan dengan mudahnya pula digeser oleh karya lain yang lebih up to date. Mungkin dapat dikatakan bahwa dengan budaya pop, sebuah karya akan dengan mudah menjulang, tapi dengan mudah pula menghilang. So, masih ingin ngepop?